Headlines News :
 photo anigif-10.gif

Napak Tilas

Latest Post

siapakah buyya Arrazy hasym

Written By LA ANA on Kamis, 06 Oktober 2022 | 20.42



r. K.H. Arrazy Hasyim, Lc., S.Fil.I., MA.Hum[2](bahasa Arabุงู„ุฑุงุฒูŠ ู‡ุงุดู…translit. Ar-rฤzฤซ Hฤ-syim‎), atau yang kerap disebut Buya Arrazy (lahir 21 April 1986 di Koto TangahPayakumbuhSumatra Barat) adalah mubaligh dan ulama Indonesia.[3] Ia merupakan pendiri dan pengasuh Ribath Nouraniyah Hasyimiyah.[4]

Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]

Arrazy lahir di Koto TangahPayakumbuhSumatera Barat pada hari Senin tanggal 21 April 1986 Masehi bertepatan dengan tanggal 11 Sya'ban 1406 Hijriyah[3] dari pasangan Nur Akmal bin Muhammad Nur dan Asni binti Sahar.[3]

Pada 11 Juli 2010, Arrazy menikahi Eli Ermawati MS[5] dan telah dikaruniai tiga orang anak yaitu Hisyam Faqih Arrazy, Hushaim Shah Wali Arrazy dan Helena Nour Arrazy.[3] Pada 22 Juni 2022, Hushaim putra kedua Buya Razy meninggal di TubanJawa Timur terkena tembakan senjata api milik polisi pengawal Arrazy.[6][7]

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Arrazy menamatkan Sekolah Dasar tahun 1998 dan MTsN tahun 2001 di PayakumbuhSumatra Barat. Ia sempat masuk ke MAN 2 / MAKN Payakumbuh, tetapi pada tahun 2002 ia pindah ke MAN 2 Bukittinggi dan tamat pada tahun 2004.

Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ilmu hadis di pesantren mahasiswa Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, lulus tahun 2008; serta pendidikan S1 Jurusan Akidah dan Filsafat Islam di UIN Syarif Hidayatullah, lulus tahun 2009.

Ia juga mengikuti pendidikan non-formal di Dawrat al-Tathqif al-Shar'i li al-'Ulลซm al-Islฤmฤซyah yang diadakan oleh Internationalize Zentrum Fur Islamiche Wissenschaften di Bogor dari tahun 2006 sampai 2008. Pada 2009, setelah tamat S-1, ia melanjutkan pendidikan S-2 Pengkajian Islam di UIN Syarif Hidayatullah dan lulus pada 2011. Pada 2012, ia melanjutkan S-3 di jurusan dan universitas yang sama dan lulus tahun 2017.[3]

Pekerjaan[sunting | sunting sumber]

Saat ini, Arrazy merupakan pengasuh Ribath Nouraniyah, lembaga kajian turats, ilmu akidahtasawuf dan amaliah zikir yang berpusat di CiputatTangerang SelatanBanten.[4] Ia juga aktif sebagai Dosen Pascasarjana Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) Jakarta serta pengajar/pengampu kitab Aqidah Ahlus Sunnah di Pesantren Darussunnah.[4]

Sebelumnya, ia pernah menjadi dosen ilmu Kalam dan Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2012-2019). Pada tahun 2016 dan 2017, ia mendapatkan kesempatan untuk mengisi aktivitas dakwah dan seminar keislaman di KBRI ParisKJRI Marseille, dan komunitas Muslim lainnya di Prancis.[8]

Kontroversi[sunting | sunting sumber]

Arrazy Hasyim dalam kajiannya mempopulerkan konsep “nama ruh” (dari bahasa Arab “ismu ruh”).[9][10] Ia mengatakan setiap orang memiliki nama ruh pemberian Allah. Seseorang dapat mengetahui nama ruhnya jika terkoneksi dengan al-ghauts, seorang wali Allah keturunan Nabi Muhammad.[11] Arrazy mengatakan dirinya pernah bertemu dengan al-ghauts dan orang-orang di Ribath Nouraniyah memiliki koneksi dengan al-ghauts.[12]

Beberapa kajiannya yang lain juga menimbulkan polemik. Ia menafsirkan sebuah hadis tanda-tanda hari kiamat tentang jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki dengan mengatakan seseorang lelaki halal untuk menikahi hingga 50 perempuan.[13] Namun, Arrazy menarik kembali pernyataan tersebut dan mengklarifikasi bahwa ia saat itu keliru memahami hadis.[14]

Karya tulis[sunting | sunting sumber]

  • Kritik Para Ulama Terhadap Konsep Teologi Ibn 'Arabรฎ (2009)
  • Teologi Ulama Tasawuf di Nusantara Abad ke-17 sampai ke-19 (2011)
  • Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi (2017)
  • Akidah Salaf Imam Al-แนฌaแธฅฤwฤซ (2020)

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ https://beritajatim.com/peristiwa/putra-buya-arrazy-tuban-meninggal-dunia-diduga-tertembak/
  2. ^ Darus-Sunnah, Madrasah (2020-11-18). "Lagi: Guru Madrasah Darus-Sunnah Raih Gelar Master, Alhamdulillah!"Pesantren Darus-Sunnah. Diakses tanggal 2021-11-09.
  3. Lompat ke:a b c d e "Sosok yang Dikagumi Dr Arrazi Hasyim, Ulama Muda yang Viral"Republika Online. 2021-06-21. Diakses tanggal 2021-11-09.
  4. Lompat ke:a b c "Ribath Nouraniyah, Rumah Aswajanya Buya Arrazy Hasyim"Tebuireng Initiatives. 2021-06-17. Diakses tanggal 2021-11-09.
  5. ^ "Eli Ermawati"Majalah Nabawi. Diakses tanggal 2021-11-09.
  6. ^ A, Herlianto (2022-06-22). "Putra Kedua Buya Arrazy Meninggal Dunia di Tuban". Diakses tanggal 2022-06-22.
  7. ^ "Putra Ulama Arrazy Hasyim Tewas Terkena Tembakan dari Senjata Milik Pengawalnya, Begini Kronologinya"Tribunnewswiki.com. Diakses tanggal 2022-06-22.
  8. ^ "Dr. Arrazy Hasyim, M.Fils - Staff Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta"staff.uinjkt.ac.id. Diakses tanggal 2021-11-09.
  9. ^ Lubis, Zainuddin (2022-03-22). "Buya Arrazy: Saya Difitnah Melakukan Baiat Jual Nama Ruh"BincangSyariah | Portal Islam Rahmatan lil Alamin. Diakses tanggal 2022-08-04.
  10. ^ Admin (2022-03-22). "Sejak Kapan dan Mengapa Buya Arrazy Hasyim Dikritik Soal Konsep "Ismu Ruh"?"Harakah.ID - Situs Belajar Islam Terpercaya. Diakses tanggal 2022-08-04.
  11. ^ Tahukah Anda.. Siapakah Nama Ruhanimu ? II Buya Arrazy Hasyim, diakses tanggal 2022-08-04
  12. ^ PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW & PERINGATAN HARI SANTRI NASIONAL KOTA TASIKMALAYA, diakses tanggal 2022-08-04
  13. ^ Fahasbu, Ahmad Husain (2022-03-26). "Tentang Polemik Buya Arrazy Hasyim"Jas Hijau. Diakses tanggal 2022-08-04.
  14. ^ Meluruskan Pandangan Menikahi 50 Wanita di Akhir Zaman - Buya Arrazy Hasyim, MA, diakses tanggal 2022-03-30

siapakah gusmus itu ?

Written By LA ANA on Minggu, 04 Juli 2021 | 21.31



 A. MUSTOFA BISRI

TENTANG DISIPLIN ‘BERTANYA’

 
Alumnus dan penerima beasiswa dari Universitas Al Azhar Cairo (Mesir, 1964-1970) untuk studi islam dan bahasa arab ini, sebelumnya menempuh pendidikan di SR 6 tahun (Rembang, 1950-1956), Pesantren Lirboyo (kediri, 1956-1958), Pesantren Krapyak (Yogyakarta, 1958-1962), Pesantren Taman Pelajar Islam (Rembang, 1962-1964).

Dilahirkan di Rembang , 10 Agustus 1944, Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri) beruntung dibesarkan dalam keluarga yang patriotis, intelek, progresif sekaligus penuh kasih sayang. Kakeknya (H. Zaenal Mustofa) adalah seorang saudagar ternama yang dikenal sangat menyayangi ulama. Dinaungi bimbingan para kiai dan keluarga yang saling mengasihi, yatim sejak masih kecil tidak membuat pendidikan anak-anak H. Zaenal Mustofa terlantar dalam pendidikan mereka. Buah perpaduan keluarga H. Zaenal Mustofa dengan keluarga ulama bahkan terpatri dengan berdirinya “Taman Pelajar Islam” (Roudlatuth Tholibin), pondok pesantren yang kini diasuh Gus Mus bersaudara. Pondok ini didirikan tahun 1955 oleh ayah Gus Mus, KH. Bisri Mustofa. Taman Pelajar Islam secara fisik dibangun diatas tanah wakaf H. Zaenal Mustofa, dengan pendiri dan pengasuh KH Bisri Mustofa sebagai pewaris ilmu dan semangat pondok pesantren Kasingan yang terkemuka diwilayah pantura bagian timur waktu itu, dan bubar pada tahun 1943 karena pendudukan Jepang. KH. Bisri Mustofa sendiri adalah menantu KH. Cholil Harun, ikon ilmu keagamaan (Islam) di wilayah pantura bagian timur (Anshari, et.al.,2005: 34). Ayah Gus Mus sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya, lebih dari sekedar pendidikan formal. Meskipun otoriter dalam prinsip, namun ayahnya mendukung anaknya untuk berkembang sesuai dengan minatnya.

Menikah dengan Hj. Siti fatmah (1971), mereka dikaruniai 7 anak (6 putri, 1 putra bernama M. Bisri Mustofa), dan 13 cucu. Yang semakin langka dalam keluarga masa kini, namun nyata berlangsung dalam keluarga Gus Mus adalah hubungan saling menghormati, saling menyayangi diantara sesama anggota keluarga. Sebagai ilustrasi, kiprah sang ayah di dunia politik (Anggota Majelis Konstituante, 1955; Anggota MPRS, 1959; Anggota MPR, 1971), tidak dengan sendirinya membuat Gus Mus tertarik kepada dunia politik. Jika akhirnya Gus Mus terjun juga ke dunia politik (1982-1992 anggota DPRD Jawa Tengah; 1992-1997 Anggota MPR RI) itu lebih karena pertimbangan tanggung jawab yang tak bisa dielakkannya, mengingat kapasitas-kapasitasnya. Dengan mengambil sikap-sikap politik yang sulit, Gus Mus sangat memperhitungkan restu keluarganya, terutama ibundanya Hj. Ma’rufah, selain istri dan anak-anaknya.


Disiplin dalam menulis

KH. Bisri Mustofa penulis Tafsir al-ibris yang masyhur, di zamannya termasuk ulama ‘nyeleneh’ karena bekerja sebagai penulis. Beliau dikenal kemampuannya menerjemahkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab menjadi bacaan indah sekaligus mudah difahami.

Produktivitas menulis keluarga ulama ini, khususnya produktivitas kepenulisan KH. Bisri Mustofa dan KH. Misbach Mustofa (keduanya putra H. Zaenal Mustofa) baik dalam bahasa Indonesia, Jawa mmaupun bahasa Arab mendorong inovasi diadakannya pelatihan menulis dalam bahasa Indonesia dan menerjemahkan kitab dalam bahasa Indonesia bagi para santri Taman Pelajar Islam (1983) yang diprakarsai adik Gus Mus KH M. Adib Bisri. Ketika itu kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia rata-rata santri sangatlah minim.

Gus Mus sendiri bersama kakaknya KH M. Cholil Bisri, sejak muda mempunyai kebiasaan menulis sajak dan saling berlomba untuk dipublikasikan. Gus Mus yang suka membaca sejak masa kanak0kanak, tulisannya sejak remaja sudah banyak dimuat berbagai mdia masa termasuk Kompas (Kompas Minggu 9 Januari 1997:2). (Untuk menghindarkan diridari ‘bayang-bayang’ nama besar ayahnya, Gus Mus pernah menggunakan nama M. Ustov Abi Sri sebagai pseudonimnya). Pentas baca puisinya yang pertama (1980-an) telah menuai banyak pujian dan Gus Mus segera dikukuhkan kehadirannya sebagai “bintang baru’ dalam dunia kepenyairan Indonesia. Ia menjadi satu-satunya penyair Indonesia yang menguasai sastra Arab (bukan sekedar terjemahannya). Kini sajak-sajak Gus Mus terpampang hingga ruangan kampus Universitas Hamburg (Jerman). Tulisannya tersebar luas diantaranya bisa kita baca di Intisari, Horison, Kompas, Tempo, Detak, Editor, Forum, Humor, DR, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Jawa Pos, Bali Pos, Duta masyarakat (Baru), Pelita, Panji Masyarakat, Ulumul Qur’an, Ummat, Amanah, Aula, Mayara. Pada majalah Cahaya Sufi (Jakarta), MataAir (Jakarta), MataAir (Yogyakarta), Almihrab (Semarang) Gus Mus duduk sebagai Penasehat.

Karena dedikasinya dibidang sastra, Gus Mus banyak menerima undangan juga dari berbagai negara. Bersama Sutardji Colzoum bachri, Taufiq Ismail, Abdul hadi WM, Leon Agusta, Gus Mus menghadiri perhelatan puisi di Baghdad (Iraq, 1989). Masyarakat dan mahasiswa Indonesia menunggu dan menyambutnya di Mesir, Jerman, Belanda, Perancis, jepang, Spanyol, Kuwait, Saudi Arabia (2000). Fakultas Sastra Universitas Hamburg, mengundang Gus Mus untuk sebuah seminar dan pembacaan puisi (2000). Universitas Malaya (Malaysia) mengundangnya untuk seminar Seni dan Islam. Sebagai cerpenis, Gus Mus menerima penghargaan “Anugerah Sastra Asia” dari Majelis Sastra (Mastera,Malaysia, 2005).

Membaca sajak saat berdakwah, bukan hal baru di kalangan pesantren. Tapi, membaca sajak sebagaimana dilakukan Gus Mus dengan sajak-sajak mbeling atau ‘puisi balsem’ (balsem adalah obat gosok penghilang pening)-nya, memang baru Gus Mus yang memulai (Kompas Minggu, 9 Janurai 1997: 2). Sajak-sajak Gus Mus menjadi medium bagi Gus Mus untuk mengkomunikasikan berbagai situasi sosial yang aktual dengan para santri/asudiens-nya. Dengan bangkitnya keingintahuan santri dan para audiens, terbukalah dialog sehingga terbuka harapan akan meningkatnya pemahaman yang lebih untung tentang diri sendiri, sesama, situasi lingkungan dan agama.

Dedikasi Gus Mus di dunia puisi disambut oleh seniman-seniman lain. Sebuah group band anak muda pernah mengaransir lagu untuk puisi Gus Mus. Bersama Idris Sardi Gus Mus menyuarakan keprihatinannya tentang persatuan bangsa dalam pagelaran karya musik dan puisi bertajuk “Satu Rasa Menyentuhkan Kasih Sayang” di Gedung Kesenian Jakarta, 22 Maret 2006 (Kompas, 23 Maret 2006: 15). Tahun 2008 Gus Mus berkenan menulis lirik lagu diantaranya berisi parodi tentang bagaimana manusia mempertaruhkan ‘kaki’, ‘kepala’, bahkan ‘dada’ demi sekdar ‘kesenangan (kekuasaan) mempermainkan bola’—utnuk lagu Sawung Jabo (belum dipublikasikan).

Kepedulian Gus Mus yang tercurah media massa melahirkan konsep ‘MataAir’. Konsep ini mewadahi mimpinya tentang media alternatif yang berupaya memberikan informasi yang lebih jernih, yang pada awalnya merupakan respons atas keprihatinannya terhadap kebebasan pers yang sangat tidak terkendali (setelah Orde Baru tumbang, 1998). Meski belum sepenuhnya hadir seperti yang diharapkan Gus Mus, konsep ‘MataAir’ iini akhirnya terwujud dengan diluncurkannya situs MataAir, gubuk maya Gus Mus di www.gusmus.net  (2005), kemudian disusul penerbitan perdana majalah MataAir jakarta (2007) dan MataAir Yogyakarta (2007). ‘MataAir’ mempunyai motto: “Menyembah Yang Maha Esa, Menghormati yang lebih tua, Menyayangi yang lebih muda, mengasisih sesama”.

Masyarakat juga menikmati inovasi lain sebagai buah dari tradisi menulis keluarga Mustofa ini. Pada pernikahan keempat putrinya, untuk masing-masing Gus Mus menerbitkan sebuah buku yang dibagikan sebagai cindera mata bagi para tetamu. Tiga diantaranya Kado pengantin (kumpulan nasehat untuk pengantin yang ditulis tokoh kiai dan cendekiawan, 1997), Bingkisan Pengantin (antologi puisi tokoh penyair, 2002), Cerita-Cerita Pengantin (kumpulan cerpen yang ditulis para tokoh cerpenis, 2004).

 

Disiplin dalam Berorganisasi dan Berpolitik

Sejak muda Gus Mus adalah probadi yang terlatih dalam disiplin berorganisasi. Sewaktu kuliah di Al Azhar Cairo, bersama KH Syukri Zarkasi (sekarang Pengasuh Ponpes Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur), Gus Mus menjadi pengurus HIPPI (Himpunan Pemuda dan Pelajar Indonesia) Divisi Olah Raga. Di HIPPI pula Gus Mus pernah mengelola majalah organisasi (HIPPI) berdua saja dengan KH. Abdurrahaman Wahid (Gus Dur).

Tidak berbeda dengan para kiai lain yang memberikan waktu dan perhatiannya untuk NU (Nahdlatul Ulama), sepulang dari Cairo Gus Mus berkiprah di PCNU Rembang (awal 1970-an), Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah (1977), Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, hingga Rais Syuriyah PBNU (1994, 1999). Tetapi mulai tahun 2004, Gus Mus menolak duduk dalam jajaran kepengurusan struktural NU. Pada pemilihan Ketua Umum PBNU 2004-2009, Gus Mus menolak dicalonkan sebagai salah seorang kandidat.

Sebagai konsekuensinya, Gus Mus tidak sekedar ‘kehilangan’ kesempurnaan memimpin NU –dalam arti struktural-- namun juga dialamatkannya tudingan bahwa ia sekadar tokoh ‘lemah’, ‘ragu-ragu’, ‘tidak tegas’, ‘tidak serius’ terhadap –bahkan ‘cuci tangan’ dari persoalan-persoalan NU (Anshari, et.al., 2005: 114). Sementara bagi Gus Mus, dengan ‘berada di luar orbit’, ia justru bisa ‘menjadi kiai umat tanpa membedakan latar belakang, warna pakaian dan politik’ (idem: 97). “Saya harus bisa mengukur diri sendiri. Mungkin lebih baik saya tetap berada di luar, memberikan masukan dan kritikan dengan cara saya,” jelasnya (Khairina & Kristanto, 2004: 16 kolom 4). “Kalau saya biasanya mendoa, ya saya akan mendoa. Kalau semua orang misalnya mau mengukur dirinya sendiri, insya Allah baik bagi dirinya, baik juga bagi umat”.

Pada periode kepengurusan NU 2010 – 2015, hasil Muktamar NU ke 32 di Makasar Gus Mus diminta untuk menjadi Wakil Rois Aam Syuriyah PBNU mendampingi KH. M.A. Sahal Mahfudz. Pada bulan Januari tahun 2014, KH M.A. Sahal Mahfudh menghadap kehadirat Allah, maka sesuai AD ART NU, Gus Mus mengemban amanat sebagai Pejabat Rois Aam hingga muktamar ke 33 yang berlangsung di Jombang Jawa Timur. Pada muktamar NU di Jombang, Muktamirim melalui tim Ahlul Halli wa Aqdi,  menetapkan Gus Mus memegang amanat jabatan Rois Aam PBNU. Namun Gus Mus tidak menerima Jabatan Rois Aam PBNU tersebut dan akhirnya Mukatamirin menetapkan Dr. KH. Ma’ruf Amin menjadi Rois Aam PBNU periode 2015-2020.

Berdisiplin dalam memelihara rasa tanggung jawab, juga membuat Gus Mus bergeming terhadap godaan kursi empuk kekuasaan struktural di dunia politik. Tidak seperti kebanyakan politikus dengan segala daya dan cara merebut mendapatkan dan mempertahankan kedudukannya, Gus Mus pernah menolak duduk kembali di kursi legislatif. Meskipun pencalonannya sudah di tetapkan, beliau memutuskan mundur dari pemilihan sebagai ‘wakil rakyat’. Alasan beliau, karena ragu bisa mempertanggungjawabkan posisinya jika terpilih. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Gus Mus merasa apa yang bisa diberikannya kepada rakyat tidak sebanding dengan apa yang diterimanya dari rakyat (Khairina dan Kristatnto, 2004: 16).

Termasuk disipilin dalam berpolitik, Gus  Mus juga selalu terlalu arif untuk membawa kelompok maupun kepentingan dirinya sendiri. Mantan Pemimpin Redaksi tabloid Detik Eros Djarot menyatakan bahwa sebagai Kiai, Gus Mus tidak bernafsu ‘mengolah’ para pendukung, simpatisan dan santrinya menjadi sekadar alat perjuangan politk demi kekuasaan. Ada pula yang mencatat bahwa menjelang Pemilu 1987, melalui KH Sahal Mahfudz (senior Gus Mus di kepengurusan struktural NU) seorang kader parpol gagal membujuk Gus Mus menjadi direktur sebuah perusahaan yang akan didirikan sang kader bersama kelompoknya. Gus Mus bahkan rela mengurungkan ralisasi impiannya memiliki percetakan untuk menerbitkan sndiri karya-karyanya ketika mengetahui dananya berasal dari sumber yang sama (Asma et.al., 2005: 85-86)

Dalam dunia politik, pemihakan Gus Mus selalu jelas dan konsisten: yakni kepada rakyat yang selalu terpinggirkan. Sebagai Anggota Dewan misalnya (1982-1992 Anggota DPRD Jawa Tengah; 1992-1997 Anggota MPR RI), untuk mendengarkan aspirasi rakyat, tidak jarang Gus Mus dengan biaya sendiri mengadakan kunjungan di luar protokoler biasanya dalam kemasan pengajian dan ini dilakukan tidak terbatas di wilayah yang menjadi konstituennya. “Suatu kebiasaan yang berlaku di dewan saat itu adalah masing-masing anggota hanya mengurus dan mengedepankan kepentingan daerahnya. Tidak ada anggota dewan yang concern terhadap urusan daerah secara integral,” Kata Gus Mus (Asma et.al.,2005: 80).

Atmosfer di lingkungan legislatif memang tidak cukup kondusif bagi hati nurani Gus Mus. Gus Mus sampai malu dan menghindar dari menerima gaji. Seperti kata Gus Mus: “...antara kinerja dan gaji yang diberikan tidak imbang. Jauh lebih besar gaji yang diterima.” (idem: 82). Puncak akumulasi ketidakberdayaan Gus Mus di parlemen daerah tertuang dalam Puisi Balsem dari Tunisia (dalam Ohoi, Kumpulan Puisi-Puisi Balsem, Bisri, 1988, cet.1) (idem:85). Karena merasa fungsinya tidak efektif, akhirnya Gus Mus mengundurkan diri: “ ...mungkin saya bisa melihat ketimpangan-ketimpangan dan kesalahan-kesalahan, tetapi apakah saya bisa ikut --tidak hanya memberi teguran namun—mencarikan solusi dan pemecahan?’ (Asma et.al., 2005: 116).

 

Disiplin dalam melukis

Sewaku kuliah di Al Azhar (Cairo), Gus Mus dikenal sebagai atlet bulu tangkis dan sepak bola yang andal. Selain bulu tangkis dan sepak bola, melukis dan menulis adalah kegemaran Gus Mus sejak muda. Kenang Gus Mus, “...saya itu kalau ngaji, kitabnya suka saya gambari. Ketahuan ayah saya, tapi malah saya diajak ke perkampungan para pelukis di Sokaraja iyu. “ (Rahardjo, 1997: 16). Gus Mus juga bercerita tentang guru melukisnya yang lain: “ ...ada peluksi keliling, dia gambar wajah orang pakai kertas dan konte. Dia itu kakinya lumpuh. Sayalah yang mendorongnya keliling kota Rembang ini... hanya saking tertariknya saja. Saya ingin melihat dia melukis. Itulah antara lain cara saya belajar. Jadi saya tidak belajar secara khusus.” (idem). Sewaktu menjadi santri di Krapyak, Gus Mus sering jalan-jalan ke rumah-rumah seniman Yogya. Salah satunya rumah Affandi (Asma, et.al., 2005: 49). Sampai ketika Affandi ke Mesir, Gus Mus selalu “nempel’ Affandi (Rahardjo, 1997:16).

Mengapa ia sampai kini melukis, Gus Mus menyatakan: “Saya punya kebiasaan, kalau ada dorongan dari dalam itu, kalau tidak saya tuangkan dalam tulisan atau oret-oretan, rasanya masih seperti ada ganjalan.” (idem: 15) “Apa yang saya lakukan itu merupakan dorongan dari dalam. Baik menulis maupun melukis, itu dorongan dari dalam yang tidak bisa dibendung, bahkan oleh saya sendiri. Karena sakit kalau tidak saya tuangkan. “ (idem: 24).

Gus Mus kini mantan perokok menjadi inovator sebagai pelukis pertama di atas amplop surat dengan memanfaatkan klelet (residu rokok) sebagai medium lukisannya. Sejumlah lukisan klelet karyanya itu digelar dalam sebuah pameran tunggal bertajuk “99 Lukisan Amplop” di Gedung Pameran Senirupa Depdikbud Jakarta (1997). Dirjen Depdikbud RI pada waktu itu, Edi Setyawati, mengapresiasi Gus Mus sebagai ‘manusia pelaku perubahan yang mewarisi gagasan-gaasan modernisasi dalam bidang kesenian’ (idem: 7). Lukisan amplop Gus Mus menurut Edi Sdyawati merupakan ‘karya-karya seni rupa yang spesifik, baik bentuk, teknik, maupun pemaknaannya’ (idem). Mantan Mendikbud RI Fuad Hassan dalam sambutannya saat membuka pameran, menyatakan bahwa karya Gus Mus itu ‘sangat unik, bukan saja karena ciptaseni seorang Kiai, juga karena karyanya pantas dianggap tunggal dalam wujud dan gayanya” (idem: 8).

Dan lagi-lagi, konsistensi itu bisa dirasakan di sini. Tidak hanya dalam aktivitas politik dan kreativitas dalam sastra, dalam seni rupa pun, Gus Mus agaknya sulit dipisahkan dari disiplin spiritualnya. Menurut kurator seni rupa dan salah seorang pelopor seni Jim Supangkat (Tempo Edisi Khusus Tahun 2000: 178), karya Gus Mus berbeda dengan ‘sebagian besar kaligrafi yang terkesan tulisan yang diindah-indahkan’ (idem: 49). Apa yang dikatakan Jim senada dengan pernyataan Fuad: “Kekayaan Gus Mus tampak melalui kesederhanaan yang memnuhi estetika, bukan melalui kemubadziran yang sifatnya kosmetika belaka.” (idem: 9). Lebih lanjut Jim menyatakan bahwa ‘kekuatan ekspresinya terdapat pada garis grafis’, ‘kesannya ritnuk menuju dzikir’. Ini senafas dengan ungkapan pelukis dan cerpenis Danarto, yang menyatakan bahwa karya Gus Mus cenderung kepada ‘cara-cara i’tikaf yang memadai’ dalam mengarungi kehidupan ‘yang semakin hari semakin ganas’ (idem: 46). I’tikaf adalah cara beribadah dengan berdiam diri di masjid, menjauhkan pikiran dari keduniaan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Alwi, 2003: 422).

Hingga kini lukisan karya Gus Mus mencapai bilangan ratusan dan bisa disaksikan publik dalam berbagai pameran lukisan. Sebuah lukisannya yang pernah mengundang kontroversi berjudul “Berdzikir Bersama Inul”, dipamerkan bersama karya Djoko Pekik, Danarto dan kawan-kawan di Surabaya (2003).

Ketika diselenggarakan Pameran Post-Kaligrafi “Kalam dan Peradaban” di Jogja Gallery (2007), Arrahmaiani –seorang penulis dan perupa—mencatat lukisan Gus Mus berjudul “Institusi” (2007) menarik untuk direnungkan. Lukisan itu menurutnya mempersoalkan ‘kecenderungan orientasi vertikal yang kemudian diinstitusikan’, yang menyebabkan manusia lupa adb karena kerancuan antara penghayatan ketuhanan dan nafsu (Arrahmaiani, 2007:29 kolom 4). Saat ini Gus Mus sedang menyelesaikan serial 30 lukisan yang ditajukinya “Lukisan Malam”.

 


Gusmiek siapakah gerangan ?

 

Hamim Tohari Djazuli

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Hamim Tohari Djazuli, akrab dipanggil Gus Miek (lahir di KediriJawa Timur17 Agustus 1940 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 5 Juni 1993 pada umur 52 tahun)[1] atau wafat pada 14 Dzulhijjah 1413 H adalah pendiri amalan dzikir Jama'ah Mujahadah LailiyahDzikrul Ghofilin, dan sema'an (mendengarkan) al-Qur'an Jantiko Mantab.[2]


Ia adalah putra dari K.H. Ahmad Djazuli Utsman, pengasuh Pondok Pesantren Al-FalahPlosoMojo, Kediri, Jawa Timur.[3] Ia terkenal sebagai seorang wali (kekasih Allah) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar Pesantren untuk berdakwah.[4][5] Gus Miek juga terkenal sebagai wali yang memiliki banyak karomah (kelebihan).

Biografi[sunting | sunting sumber]

Keluarga[sunting | sunting sumber]

Ayah: Kyai Haji Ahmad Djazuli Usman

Ibu: Nyai Hajjah Rodliyah

Kakek: Penghulu R. Muhammad Usman

Kakak:

Adik:

  • Kyai Haji Fuad Mun'im Djazuli
  • Kyai Haji Munif Djazuli
  • Nyai Hajjah Lailatul Badriyah Djazuli

Isteri: Nyai Hajjah Lilik Suyati Putra:

Cucu:

  • Agus Shofa Chasba Bahreisy (Reisy)
  • Agus Ferry Chusnul Ma'ab (Ferry)
  • Agus Thuba Topo Broto Maneges (Thuba)
  • Agus Laits Asmoroqondi (Laits)

Masa Kecil dan pendidikan awal[sunting | sunting sumber]

Gus Miek adalah putra ketiga dari enam bersaudara dari pasangan K.H Djazuli Utsman dan Nyai Rodhiyah.[2][3] Amiek (panggilan masa kecil Gus Miek) lahir dan besar di Kediri.[2] Ia tinggal di lingkungan bekas kantor penghulu yang telah ditebus orang tuanya dengan biaya 71 golden.[2] Gus Miek kecil adalah sosok yang pendiam dan suka menyendiri, berbeda dengan saudara-saudaranya dan teman sebayanya yang lebih senang dekat ibunya atau kepada para santri.[2] Hal ini dapat dilihat bila seluruh keluarga berkumpul, ia selalu mengambil tempat yang paling jauh.[2] Ketika kecil ia juga terkenal memiki suara yang merdu dan fasih pada saat membaca al-Qur'an.[2]

Pendidikan awal ia tempuh dengan masuk di Sekolah Rakyat (SR), namun tidak sampai selesai karena sering membolos.[6] Dalam pendidikan belajar membaca al-Qur'an, Gus Miek dibimbing langsung oleh ibunya, kemudian ia diserahkan kepada Ustadz Hamzah.[2] Sedangkan dalam pendidikan belajar kitab, Gus Miek beserta para saudaranya diajar langsung oleh ayahnya.[2]

Pada umur 9 tahun, Gus Miek telah mengenal ulama-ulama besar. Beberapa ulama tersebut yang sering dikunjungi Gus Miek adalah K.H. Mubasyir Mundzir, Kediri; K.H. Mas'ud (Gus Ud) PagerwojoSidoarjo; dan K.H. HamidPasuruan.[1][6] Ketika berkunjung ke rumah Gus Ud di Sidorajo, untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu dengan K.H. Ahmad Siddiq yang pada saat itu menjadi sekertaris pribadi K.H. Wahid Hasyim.[1][6] K.H. Ahmad Siddiq inilah yang kelak sering menentang tradisi sufi Gus Miek namun ia juga yang kelak menjadi kawan karibnya di Dzikrul Ghofilin.[1][6]

Belajar di pesantren Lirboyo[sunting | sunting sumber]

Pada umur 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, setelah K.H. Mahrus Ali datang menjemputnya di Ploso untuk memintanya belajar di Pondok Pesantren asuhan K.H. Mahrus Ali tersebut.[2] Namun pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo hanya bertahan selama 16 hari dan kemudian Gus Miek kembali pulang ke Ploso.[6]

Kepulangan Gus Miek yang mendadak ke Pondok Pesantren Ploso membuat orang tuanya resah karena ia tidak mau untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo. Namun Gus Miek mampu menunjukkan bahwa selama belajarnya di Pesantren Lirboyo ia melakukannya dengan sungguh-sungguh, ia membuktikan kepada orang tuannya dengan cara menggantikan semua jadwal pengajian yang biasa diampu oleh ayahnya di Pondok Pesntren Ploso.[2] Gus Miek membuktikannya dengan mengajarkan berbagai kitab kepada para santri, yakni: kitab Tahrir (kitab fiqh tingkat dasar), Fatkhul Mu'in (kitab fiqh tingkat menengah), Jam'ul Jawami' (kitab ushul fiqh), Fatkhul Qarib (kitab fiqh tingkat menengah), Shahih Bukhari (kitab hadis), Shahih Muslim (kitab hadis), Tafsir Jalalain (kitab tafsir al-Qur'an), Iqna (kitab fiqh penjabaran dari kitab Fatkhul Qarib), Shaban (kitab tata bahasa Arab) dan Ihya' Ulumuddin (kitab tasawuf).[2]. Pada saat inilah orang tuanya menyadari adanya karomah (kelebihan) kewalian pada diri Gus Miek.[2]

Setelah menunjukkan kemampuannya kepada orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus Miek memutuskan untuk belajar lagi di Pesantren Lirboyo.[2] Di pesantren tersebut ia cukup rajin dalam mengikuti pengajian. Namun ia mempuyai kebiasaan yang sulit dihilangkan sejak di Ploso, yaitu ketika santri lain sedang sibuk mengaji, ia hanya tidur dan meletakkan kitabnya di atas meja.[2] Meskipun demikian, ketika gurunya mengajukan pertanyaan terkait materi yang telah disampaikan, Gus Miek selalu mampu menjawabnya dengan memuaskan.[2]

Di Pesantren Lirboyo, ada beberapa santri yang dekat dengan Gus Miek, di antaranya adalah Abdul Ro'uf dari Blitar yang mendapat tugas memasak, Abdul Zaini dari GresikAbdullah dari MagelangGus Idris dan Gus Fatkhurrohman.[2] Perkenalan dengan Abdullah tersebut yang akhirnya membuat Gus Miek meninggalkan Pesantren Lirboyo dan pergi ke Magelang.[2] Pada umur 14 tahun, ia pergi dan melanjutkan belajarnya ke sebuah Pondok Pesantren asuhan K.H. Dalhar di Watucongol, Magelang, Jawa Tengah.[2][6]



Referensi

  1. ^ a b c d www.tanbihun.com: Biografi Gus Miek (KH. Hamim Tohari Djazuli). Diakses 6 April 2014
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Muhammad Nurul Ibad (2001). Perjalanan dan Ajaran Gus Miek. Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-32-1. Halaman 111-133.
  3. ^ a b www.tokohtokoh.com: KH. Hamim Djazuli[pranala nonaktif permanen]. Diakses 6 April 2014.
  4. ^ Muhammad Nurul Ibad (2010). Dhawuh Gus Miek. Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-30-5. Halaman vii.
  5. ^ Muhammad Nurul Ibad (2012). Suluk Jalan Terabas Gus Miek. Pustaka Pesantren. ISBN 979-8452-31-3. Halaman vii.
  6. ^ a b c d e f www.nu.or.id: Gus Miek, dari Khataman ke Tempat Perjudian. Diakses 6 April 2014

My Grand Teacher

 photo 7585a47d-72ce-421a-a523-fe016128e46c.jpg
 
Support : KEBUL BLOGGING | Sanghyang Mughni Pancaniti | Mas Template
Copyright © 2013. NAPAK TILAS AL FAQIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger