Oleh Emha Ainun Nadjib
Jauh lebih banyak dari kehidupan ini yang tidak saya pahami dibanding yang ala kadarnya saya pahami. Dan di antara hal-hal yang musykil untuk saya pahami umpamanya adalah kehebatan mentalitas sebagian atau mungkin banyak laki-laki dan perempuan. Kehebatan mereka tatkala pacaran atau bersuami- istri. Ada seorang istri yang mampu tahan dan memaafkan suaminya bersenggama dengan perempuan lain di depan hidungnya. Bertiga mereka tidur dalam situasi sosial kemudian di larut malam sang suami "numpang enak" kepada perempuan itu di sisi isterinya.
Mustahil saya sanggup memahami bagaimana perasaan sang istri melirik pergulatan itu, mendengar desah nafas mereka serta bunyi-bunyi yang lain yang bersifat 17 tahun keatas. Seorang suami menjual istrinya. Mengantarkannya pagi-pagi kerumah prostitusi dan menjemputnya di tengah malam. Suami lain mepersembahkan sisihan hidupnya kepada atasannya demi kepentingan yang jauh lebih sekuder dibanding cinta kasih dan kesetiaan. Dan sebagian bintang film itu, yaa amplop (eh, ya ampun).
Batapa mungkin anda membayangkan bisa mebina kasih dengan seorang artis yang bersedia berciuman dengan siapapun yang ditentukan oleh skenario, produser dan sutradara. Betapa mungkin Anda membayangkan tipe psikologis lelaki yang bersedia beristrikan seorang bintang yang dengan penuh ketenangan mengatakan kepada wartawan: "Buka baju atau telanjang pun okey, asal wajar........" Saya tidak mampu merumuskan "kewajaran" macam apa yang ia maksud. Atau seorang suami yang sutradara, menyutradarai istrinya bermain film, berbuka-buka, bercipokan, bahkan bermain seks. Atau mentalitas budaya macam apa yang dikandung oleh rohani para perempuan negeri-negeri maju -- meskipun tidak semua-- yang dengan bangga memaparkan seluruh identitasnya dalam majalah yang dibaca oleh puluhan juta orang lain.
Pada saat yang sama seorang istri setiap hari sibuk menghitung spedometer mobil suaminya dan mengintrogasi secara detail dan amat metodik apakah mobil itu di parkir di pasar atau di Sanggrahan. Seorang menyimpan istrinya di rumah seperti menaruh celana pendek di almari atau botol bir di kulkas. Pada saat yang sama seorang pemuda menyelenggarakan pertengkaran berhari-hari dengan pacarnya karena gadisnya ngobrol sekian menit dengan lelaki lain. Atau seorang perawan tak mau bicara berminggu-minggu dengan kekasihnya hanya karena mendengar selentingan gosip yang sebetulnya sekadar merupakan "kentut sosial".
Sesungguhnya kita berhadapan atau dilingkupi oleh berbagai gejala kecemburuan dan ketidak-cemburuan dalam skala universal, lokal-kultural. Kecemburuan yang berasal dari takdir serta didorong atau dilenyapkan oleh pertumbuhan pola-pola hubungan antar manusia. Menurut sebagian kaum sufi, Tuhan pun merasa cemburu kepada orientasi-orientasi lain yang di"tuhan"kan oleh manusia. Kecemburuan itu sengaja ditumbuhkan dalam diriNya, karena di alam ide penciptaan makhluk-makhluk ini Tuhan memang berniat main cinta dengan hamba-hambaNya.
Kecemburuan adalah bagian dari Cinta, bagian yang bukan saja penting, namun memperindah proses cinta. Kecemburuan diperlukan ketika cinta kasih dikukuhkan maupun ketika dipelihara dan ditingkatkan. Kecemburuan bahkan semacam "motor dialektis" dari tujuh Cinta Alloh yang bernama Tauhid. Tauhid itu bukan "menyatukan" Tuhan, karena Tuhan memang satu. Tauhid adalah menuju Yang Satu. Tauhid elementer ialah menyebut Tuhan itu satu. Tauhid kehidupan adalah mengelola segala perilaku hidup, per-manusia maupun qua-sistem, untuk dan menuju Yang Satu. Itulah konteks cinta kasih Alloh. Pelanggaran terhadap itu bernama syirik. Syirik bukan ditandai terutama oleh pengakuan bahwa Tuhan tak satu, tetapi lebih oleh tumpahnya jiwa tenaga dan konsentrasi manusia tidak kepada Alloh tetapi hal-hal lain yang sebenarnya remeh, misalnya pangkat keduniaan, kekayaan, popularitas atau derajad-semat picisan lainnya. Orang cemburu itu posisinya sama dengan orang makan nasi sepiring. Kalau orang tak makan sama sekali maka ia berarti membatalkan kehidupan. Tetapi kalau ia cemburu dengan takaran makan dua atau tiga piring nasi, berarti ia memuakkan kehidupan.
Seorang istri yang mencemburui suaminya, dalam takaran yang tepat dan konteks yang pas, sesungguhnya sedang mewakili kecemburuan Tuhan. Lembaga pacaran yang sehat, lembaga persuami- istrian, posisi suami dan posisi istri itu sendiri, merupakan bagian dari jalan tauhid. Istri adalah jalan ke cinta Alloh bagi suaminya, dan sebaliknya. Demikian juga jalan cinta manusia kepada perbuatan baik, kepada anak yatim (baik yatim sesungguhnya atau yang di yatimkan), kepada orang lemah (atau yang di lemahkan), kepada perlombaan ilmu yang sehat, kepada kerjasama "mewayu hayuning bawono", sebenarnya merupakan kencan-kencan percintaan manusia kepada Tuhannya. Konteks percintaan dengan Alloh lewat berbagai bentuk kebudayaan kebajikan itu telah diterangkan oleh banyak Agama, banyak filsafat yang dikejar dan ditemukan oleh manusia sendiri, serta banyak kebijakan dan kearifan kemanusiaan lain yang dirangkum oleh manusia secara intuitif maupun intelektual.
Konteks semacam itu tidak dikenal oleh binatang. Hanya ayam yang memiliki kelayakan untuk menjantani babon ini lantas tiga menit kemudian ganti babon itu. Hanya kuda yang di bawa kesana kemari untuk menumpahkan benih. Hanya anjing yang punya ketenangan untuk mengangkang kencing di hadapan siapapun saja. Hanya monyet yang mendemonstrasikan persenggamaan di hadapan "kamera mata" ribuan pengunjung Kebun Binatang. Tetapi bahkan burung-burung mampu bersuami istri secara tertib dan memelihara nilai rohani kesetiaan. Terkadang binatang lebih beruntung dibanding manusia. Dunia dan nilai mereka sudah niscaya dari awal sampai akhir. Sedang dunia manusia, suka menjebak diri dengan kebebasan yang dimilikinya atau yang ia peroleh dari Tuhannya. Manusia bebas memilih, termasuk memilih bunuh diri, melenyapkan standard-standard nilai kemanusiaannya sendiri, menjual istri sendiri, menyuruhnya acting di depan kamera tanpa pakaian. Soal cemburu saja pun tak gampang dikelola manusia.
• Emha Ainun Nadjib, SEDANG TUHAN PUN CEMBURU; Refleksi Sepanjang Jalan, (Yogyakarta; Sipress, 1998)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !