Emha Ainun Nadjib
Saya seorang sarjana, berkulit putih berwajah tampan, dengan rambut ikal, wajar jika saya menjadi pujaan gadis-gadis di kantor saya. Pasti mereka berpikir saya adalah calon suami idaman, memang mereka tidak salah. Suatu ketika ada seorang gadis, saya lupa namanya, kalau tidak salah ingat dia berwajah cantik, berkulit putih, kalo tidak salah lagi dia dari Manado, satu kantor dengan saya. Awalnya tidak ada yang istimewa, biasa saja, tapi semakin lama perhatianya semakin luar biasa, dari potongan rambut, baju, dasi sepatu sampai kaos kaki saya, benar-benar menjadi hal yang menarik untuknya. Suatu ketika dengan wajah cantiknya dia datang ke meja saya, dengan seikat bunga dia mengatakan "jadikan aku pacarmu". Lupa kata-kata seperti apa yang saya ucapkan waktu itu, yang teringat hanya dia terisak sambil tersenyum, atau tersenyum sambil terisak, ah atau sama saja kedua hal itu. Esok harinya dia menggundurkan diri dari kantor saya. Beberapa bulan kemudian saya mendengar dia membuka sebuah toko bunga dan menamakan toko bunganya Mas Bawong Florist, it's my name.
Sempat saya dipindahkan dari kantor pusat ke luar jawa, wilayah yang masih sangat asing tentunya untuk saya, karena ini adalah pindah tugas perdana, banyak hal tercecer, dari kemeja putih, dasi keberuntungan, sampai amplop kondangan, big mess out there. Beberapa hari bertugas saya banyak sekali mendapat bantuan dari seorang teman kerja saya, namanya Ricky sama berasal dari jakarta membuat kami merasa senasib, cuma nasibnya lebih baik, dia sudah memiliki istri cantik yang tengah mengandung anak pertama mereka. Semua keperluan saya disiapkan olehnya, dari tempat kost, kendaraan, sampai jemuran baju. Suatu ketika, malam sudah cukup larut, kami pulang dari kunjungan lapangan, dengan mobil 4x4 kami menyusuri jalan setengah aspal, hanya padang ilalang dikiri kanan jalan, dipayungi temaram sinar rembulan dan sejuknya angin malam savana tropis, its totally romantic. Ditengah perjalanan Ricky menghentikan mobil dan mematikan mesinnya, jangankan saya, serangga-serangga malampun bertanya-tanya apa yang terjadi, dua orang pria tampan maskulin, mematikan mesin mobil di tengah padang ilalang!. Diantara desir angin, Ricky berbisik lembut ke telinga saya "Bawong aku mencintaimu" what?!! saya terlonjak dari jok mobil, saya sangat marah, tanpa sepatah katapun saya turun dari mobil, saya tidak perduli jika saya harus pulang naik kuda, kuda lumping sekalipun. What on earth? romantic night with a wrong guy!. Setelah itu berkali-kali dia meminta maaf, tapi saya mengabaikannya, kami tak lagi bertegur sapa semenjak itu, dia terlihat sangat menyesal. Sampai akhirnya saya dipindahkan ke kantor cabang lain, yang saya dengar terakhir tentangnya adalah setelah anaknya lahir, dia memberinya nama; Bawong.
Kantor cabang baru ini, terletak dibatas luar kepulauan Indonesia, pengalaman saya dipindahkan cukup untuk membuat saya mandiri dalam kepindahan yang ke dua ini. Pulau ini sangat jauh dari peradaban, ah bukankah kita sudah merdeka? selalu pertanyaan ini yang terlintas. Saya tinggal disebuah perkampungan kecil, warganya sebagian besar nelayan, tapi yang saya suka, mereka umat yang sangat taat, masjid mereka selalu penuh. Sebenarnya bukan masjid seperti yang saya kenal selama ini, bertiang kayu beratap rumbia, dengan lantai papan. Saya yakin seekor sapi senewen pun akan merobohkan bangunan ini dengan mudah. Suatu ketika mereka berencana memperbaiki masjid, hanya masalahnya dana yang mereka kumpulkan belum mencukupi. Waktu itu seingat saya, tanpa ragu saya meyumbangkan seluruh tabungan saya untuk pembangunan masjid itu. Setelah pembangunan selesai, pak kepala desa mendatangi saya, mengatakan jika warga desa sepakat menamakan masjid itu dengan nama saya. Saya tersentak dan langsung menolak, saya bukan sufi atau ustadz, apalagi habib, sama sekali tak pantas nama saya dijadikan nama masjid. Akhirnya pak lurah dan warga sepakat menamakan gang kecil di depan masjid itu "Gang Bawong"
Akhirnya setelah malang melintang di kepulauan timur Indonesia, saya ditugaskan ke Yogyakarta, kota impian saya selama ini. Dan benar saya memang berjodoh dengan kota ini, tak perlu lama, saya mengenal seorang gadis cantik keturunan ningrat. Tanpa melakukan apapun dia sudah membuat jantung saya berdebar-debar, kedipannya membuat jantung saya berhenti berdetak. See, betapa mudah cinta membunuh seseorang. Sayang ternyata apa mau dikata, cinta saya bertepuk sebelah tangan, dia sama sekali tidak memperdulikan saya. Bunga, puisi, lagu, gitar, rayuan gombal, semua jurus saya lakukan. Malam minggu pasti saya apel, meski kadang hanya nongkrong di kios rokok di seberang rumahnya, anda semua pasti tahu rasanya jatuh cinta, melihat genting rumahnya saja sudah terasa indah. Sampai kegilaan saya memuncak, ketika saya melamarnya ke orang tuanya, tentu saja anda tahu jawabanya, ditolak!. Tapi saya tidak putus asa, satu persatu orang pintar saya datangi, dari profesor, ustadz, guru sampai dukun, semuanya. Apa yang saya lakukan bukan seperti orang yang ditolak lamarannya, tapi justru sebaliknya, sang gadis ningrat pun stres, orang tuanya marah dan meminta saya untuk tidak pernah datang lagi ke rumahnya, tapi saya masih bergeming, tiap hari saya datang ke rumahnya, berharap salah satu mantra saya bereaksi. Meski hanya menatap pintu pagarnya, saya tidak pernah terlambat apel. Sampai suatu ketika ketika saya sedang berdiri menatap pintu besi di depan rumahnya, sambil komat kamit membaca matra, tiba-tiba saya mendengar sang ayah memanggil "Bawong!" saya terlonjak, setengah berlari saya mendekat, penuh semangat, jantung saya berdegup kencang, Sesaat saya terpana melihatnya, sang ayah sedang memegang seekor anjing yang baru saja dipanggilnya.
Sempat saya dipindahkan dari kantor pusat ke luar jawa, wilayah yang masih sangat asing tentunya untuk saya, karena ini adalah pindah tugas perdana, banyak hal tercecer, dari kemeja putih, dasi keberuntungan, sampai amplop kondangan, big mess out there. Beberapa hari bertugas saya banyak sekali mendapat bantuan dari seorang teman kerja saya, namanya Ricky sama berasal dari jakarta membuat kami merasa senasib, cuma nasibnya lebih baik, dia sudah memiliki istri cantik yang tengah mengandung anak pertama mereka. Semua keperluan saya disiapkan olehnya, dari tempat kost, kendaraan, sampai jemuran baju. Suatu ketika, malam sudah cukup larut, kami pulang dari kunjungan lapangan, dengan mobil 4x4 kami menyusuri jalan setengah aspal, hanya padang ilalang dikiri kanan jalan, dipayungi temaram sinar rembulan dan sejuknya angin malam savana tropis, its totally romantic. Ditengah perjalanan Ricky menghentikan mobil dan mematikan mesinnya, jangankan saya, serangga-serangga malampun bertanya-tanya apa yang terjadi, dua orang pria tampan maskulin, mematikan mesin mobil di tengah padang ilalang!. Diantara desir angin, Ricky berbisik lembut ke telinga saya "Bawong aku mencintaimu" what?!! saya terlonjak dari jok mobil, saya sangat marah, tanpa sepatah katapun saya turun dari mobil, saya tidak perduli jika saya harus pulang naik kuda, kuda lumping sekalipun. What on earth? romantic night with a wrong guy!. Setelah itu berkali-kali dia meminta maaf, tapi saya mengabaikannya, kami tak lagi bertegur sapa semenjak itu, dia terlihat sangat menyesal. Sampai akhirnya saya dipindahkan ke kantor cabang lain, yang saya dengar terakhir tentangnya adalah setelah anaknya lahir, dia memberinya nama; Bawong.
Kantor cabang baru ini, terletak dibatas luar kepulauan Indonesia, pengalaman saya dipindahkan cukup untuk membuat saya mandiri dalam kepindahan yang ke dua ini. Pulau ini sangat jauh dari peradaban, ah bukankah kita sudah merdeka? selalu pertanyaan ini yang terlintas. Saya tinggal disebuah perkampungan kecil, warganya sebagian besar nelayan, tapi yang saya suka, mereka umat yang sangat taat, masjid mereka selalu penuh. Sebenarnya bukan masjid seperti yang saya kenal selama ini, bertiang kayu beratap rumbia, dengan lantai papan. Saya yakin seekor sapi senewen pun akan merobohkan bangunan ini dengan mudah. Suatu ketika mereka berencana memperbaiki masjid, hanya masalahnya dana yang mereka kumpulkan belum mencukupi. Waktu itu seingat saya, tanpa ragu saya meyumbangkan seluruh tabungan saya untuk pembangunan masjid itu. Setelah pembangunan selesai, pak kepala desa mendatangi saya, mengatakan jika warga desa sepakat menamakan masjid itu dengan nama saya. Saya tersentak dan langsung menolak, saya bukan sufi atau ustadz, apalagi habib, sama sekali tak pantas nama saya dijadikan nama masjid. Akhirnya pak lurah dan warga sepakat menamakan gang kecil di depan masjid itu "Gang Bawong"
Akhirnya setelah malang melintang di kepulauan timur Indonesia, saya ditugaskan ke Yogyakarta, kota impian saya selama ini. Dan benar saya memang berjodoh dengan kota ini, tak perlu lama, saya mengenal seorang gadis cantik keturunan ningrat. Tanpa melakukan apapun dia sudah membuat jantung saya berdebar-debar, kedipannya membuat jantung saya berhenti berdetak. See, betapa mudah cinta membunuh seseorang. Sayang ternyata apa mau dikata, cinta saya bertepuk sebelah tangan, dia sama sekali tidak memperdulikan saya. Bunga, puisi, lagu, gitar, rayuan gombal, semua jurus saya lakukan. Malam minggu pasti saya apel, meski kadang hanya nongkrong di kios rokok di seberang rumahnya, anda semua pasti tahu rasanya jatuh cinta, melihat genting rumahnya saja sudah terasa indah. Sampai kegilaan saya memuncak, ketika saya melamarnya ke orang tuanya, tentu saja anda tahu jawabanya, ditolak!. Tapi saya tidak putus asa, satu persatu orang pintar saya datangi, dari profesor, ustadz, guru sampai dukun, semuanya. Apa yang saya lakukan bukan seperti orang yang ditolak lamarannya, tapi justru sebaliknya, sang gadis ningrat pun stres, orang tuanya marah dan meminta saya untuk tidak pernah datang lagi ke rumahnya, tapi saya masih bergeming, tiap hari saya datang ke rumahnya, berharap salah satu mantra saya bereaksi. Meski hanya menatap pintu pagarnya, saya tidak pernah terlambat apel. Sampai suatu ketika ketika saya sedang berdiri menatap pintu besi di depan rumahnya, sambil komat kamit membaca matra, tiba-tiba saya mendengar sang ayah memanggil "Bawong!" saya terlonjak, setengah berlari saya mendekat, penuh semangat, jantung saya berdegup kencang, Sesaat saya terpana melihatnya, sang ayah sedang memegang seekor anjing yang baru saja dipanggilnya.
From teken buku "Yang Terhormat Nama Saya" Karya Emha Ainun Najib 1992. Termuat juga dalam Buku “BH” Kumpulan Cerpen Emha
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !