Emha Ainun Nadjib
APABILA berbicara tentang ummat, Sudrun selalu menangis. Sama dengan kalau ia bersujud selewat dua paruh malam: ia melukisi kesunyian malam dengan isakan-isakan tangis. Padahal untuk yang selain dua itu ia tak pernah menangis. Terhadap rasa derita dirinya sendiri Sudrun selalu tertawa. Semakin pribadinya bersedih, semakin ia tertawa. Tetapi setiap kali ia rasakan tangis ummat di sekitarnya, setiap kali pula ia menangiskannya bertipat-lipat.
"Pusatkanlah perhatian dan enerji hidupmu kepada ummatmu, karena Allah lebih bersemayam di kandungan hati mereka dibanding hati pemimpin-pemimpinnya", katanya, terbata-bata karena isakan tangisnya, "Aku tahu itu dan aku bersaksi atas pengetahuanku!"
Ya, arnpun. Dia jongkok meringkuk di sisi pintu bilikku.
"Aku sangat kecewa selama ini", ia meneruskan, "karena kamu terlalu asyik memperhatikan dirimu sendiri. Kamu terlalu tenggelam berkonsentrasi pada kebesaranmu, pada perusahaan popularitasmu. Padahal ummatmu sangat lapar, amat sangat lapar, tanpa tahu apa yang sesungguhnya ingin mereka makan – dan kamu tidak menunjukkan kepada mereka hal itu. Ummatmu sangat merasa kehausan, amat sangat kehausan, tanpa mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka reguk – dan kamu tidak menyodorkan minuman yang tepat bagi rasa haus mereka yang telah berkurun-kurun lamanya..."
Sudrun bagai hendak meraung. Dan aku sendiri lebih dari itu: aku ingin memekik-mekik sekeras-kerasnya untuk menggulung habis seluruh getombang perasaan yang membelit dadaku. Aku ingin badanku meledak, pecah berantakan dan sirna!
*****
Beberapa waktu yang lalu Sudrun mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan beruntun yang membuatku tergagap karena kebingungan, sehingga akhirnya ia jawab sendiri kebanyakan dari pertanyaan-pertanyaan itu.
"Siapakah kamu?"
Aku menyebut namaku.
"Bukan!", bentaknya, "itu hanya namamu. Itu belum tentu kamu!"
Kemudian ia memegani tanganku, lenganku, pundakku dan seterusnya sambil terus mencecar: "Ini tanganmu, bukan kamu. Ini lenganmu, bukan kamu. Ini pundakmu, bukan kamu. Ini otakmu, bukan kamu. Ini hatimu, bukan kamu. Ini semua bukan kamu, meskipun kamu dan semua orang menyangka ini adalah kamu. Ini semua bukan kamu. Kamu adalah yang memimpin ini semua!"
"Yang dikerumuni oleh sejuta orang itu juga bukan kamu, bukan namamu, melainkan suara kerinduan di kedalaman jiwa mereka sendiri. Kamu jangan salah sangka, jangan GR, jangan mengambil alih dan memonopoli sesuatu yang kamu sangka kamu dan milikmu. Kamu ini hanya kaca, bukan cahaya. Kamu hanya lempengan pemantul, bukan sumbernya! Kalau orang membungkuk-bungkuk dan menciumi tanganmu karena mengagumi, sesungguhnya bukan kamu yang dikagumi. Kamu hanya petugas yang mengantarkan sesuatu yang dikagumi oleh nurani ummat manusia. Kalau karnu menyangkua bahwa sesuatu itu adalah kamu sendiri, kamu akan hangus terbakar!"
Di hadapan Sudrun, mulutku selalu kelu.
"Kamu ini Muslim. Siapa Muslim? Muslim adalah manusia yang merelakan dirinya dipekerjakan oleh Allah. Dipekerjakan bagaimana? Siap menjalankan amanatNya. Amanat apa? Serangga-serangga kecilpun diselenggarakan eksistensinya oleh Tuhan dengan mengamban amanat. Ayam diamanati untuk memasok gizi kepada manusia dengan daging dan telornya. Laba-laba diamanati untuk melindungi Rasul Allah dan Sayyid Abu Bakar ketika mereka dikejar saat berhijrah oleh pasukan Abu Lahab. Dan apa amanat untuk kamu?"
"Ada perbedaan serius antara kamu dengan ayam. Ayam langsung menjalani amanat itu tanpa jarak ontologis, tanpa eksplorasi intelektual dan tanpa kreativitas budaya. Laba-laba langsung mengerjakan amanat itu tanpa harus memiliki wawasan yang matang tentang apa yang sedang berlangsung di dalam sejarah kemarin, sekarang dan besok. Ular menjalankan amanat itu tanpa kewajiban untuk mengantisipasi dan menemukan determinasi terhadap struktur-struktur permasalahan mikro dan makro komunitas manusia. Dedaunan, akar-akar pohon, sulur di rimba raya, menjalani amanat itu tanpa keharusan untuk berpikir konstan agar menemukan modus gerakan sejarah yang paling effektif. Kalau kamu menjalankan amanat di pundakmu tanpa upaya maksimal untuk merancang gerakan sejarah semacam itu, maka apa beda antara kamu dengan serangga, dengan ayam, ular dan laba-laba? Padahal di balik amanat itu, Allah telah memberimu fasilitas-fasilitas yang canggih, yakni yang berupa kesanggupan magnetikmu untuk menyerap sejuta ummat, serta ummat itu sendiri. Ummat adalah fasilitas dari Tuhanmu. Ummat adalah pemantul amanatNya untukmu..."
"Pusatkanlah perhatian dan enerji hidupmu kepada ummatmu, karena Allah lebih bersemayam di kandungan hati mereka dibanding hati pemimpin-pemimpinnya", katanya, terbata-bata karena isakan tangisnya, "Aku tahu itu dan aku bersaksi atas pengetahuanku!"
Ya, arnpun. Dia jongkok meringkuk di sisi pintu bilikku.
"Aku sangat kecewa selama ini", ia meneruskan, "karena kamu terlalu asyik memperhatikan dirimu sendiri. Kamu terlalu tenggelam berkonsentrasi pada kebesaranmu, pada perusahaan popularitasmu. Padahal ummatmu sangat lapar, amat sangat lapar, tanpa tahu apa yang sesungguhnya ingin mereka makan – dan kamu tidak menunjukkan kepada mereka hal itu. Ummatmu sangat merasa kehausan, amat sangat kehausan, tanpa mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka reguk – dan kamu tidak menyodorkan minuman yang tepat bagi rasa haus mereka yang telah berkurun-kurun lamanya..."
Sudrun bagai hendak meraung. Dan aku sendiri lebih dari itu: aku ingin memekik-mekik sekeras-kerasnya untuk menggulung habis seluruh getombang perasaan yang membelit dadaku. Aku ingin badanku meledak, pecah berantakan dan sirna!
*****
Beberapa waktu yang lalu Sudrun mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan beruntun yang membuatku tergagap karena kebingungan, sehingga akhirnya ia jawab sendiri kebanyakan dari pertanyaan-pertanyaan itu.
"Siapakah kamu?"
Aku menyebut namaku.
"Bukan!", bentaknya, "itu hanya namamu. Itu belum tentu kamu!"
Kemudian ia memegani tanganku, lenganku, pundakku dan seterusnya sambil terus mencecar: "Ini tanganmu, bukan kamu. Ini lenganmu, bukan kamu. Ini pundakmu, bukan kamu. Ini otakmu, bukan kamu. Ini hatimu, bukan kamu. Ini semua bukan kamu, meskipun kamu dan semua orang menyangka ini adalah kamu. Ini semua bukan kamu. Kamu adalah yang memimpin ini semua!"
"Yang dikerumuni oleh sejuta orang itu juga bukan kamu, bukan namamu, melainkan suara kerinduan di kedalaman jiwa mereka sendiri. Kamu jangan salah sangka, jangan GR, jangan mengambil alih dan memonopoli sesuatu yang kamu sangka kamu dan milikmu. Kamu ini hanya kaca, bukan cahaya. Kamu hanya lempengan pemantul, bukan sumbernya! Kalau orang membungkuk-bungkuk dan menciumi tanganmu karena mengagumi, sesungguhnya bukan kamu yang dikagumi. Kamu hanya petugas yang mengantarkan sesuatu yang dikagumi oleh nurani ummat manusia. Kalau karnu menyangkua bahwa sesuatu itu adalah kamu sendiri, kamu akan hangus terbakar!"
Di hadapan Sudrun, mulutku selalu kelu.
"Kamu ini Muslim. Siapa Muslim? Muslim adalah manusia yang merelakan dirinya dipekerjakan oleh Allah. Dipekerjakan bagaimana? Siap menjalankan amanatNya. Amanat apa? Serangga-serangga kecilpun diselenggarakan eksistensinya oleh Tuhan dengan mengamban amanat. Ayam diamanati untuk memasok gizi kepada manusia dengan daging dan telornya. Laba-laba diamanati untuk melindungi Rasul Allah dan Sayyid Abu Bakar ketika mereka dikejar saat berhijrah oleh pasukan Abu Lahab. Dan apa amanat untuk kamu?"
"Ada perbedaan serius antara kamu dengan ayam. Ayam langsung menjalani amanat itu tanpa jarak ontologis, tanpa eksplorasi intelektual dan tanpa kreativitas budaya. Laba-laba langsung mengerjakan amanat itu tanpa harus memiliki wawasan yang matang tentang apa yang sedang berlangsung di dalam sejarah kemarin, sekarang dan besok. Ular menjalankan amanat itu tanpa kewajiban untuk mengantisipasi dan menemukan determinasi terhadap struktur-struktur permasalahan mikro dan makro komunitas manusia. Dedaunan, akar-akar pohon, sulur di rimba raya, menjalani amanat itu tanpa keharusan untuk berpikir konstan agar menemukan modus gerakan sejarah yang paling effektif. Kalau kamu menjalankan amanat di pundakmu tanpa upaya maksimal untuk merancang gerakan sejarah semacam itu, maka apa beda antara kamu dengan serangga, dengan ayam, ular dan laba-laba? Padahal di balik amanat itu, Allah telah memberimu fasilitas-fasilitas yang canggih, yakni yang berupa kesanggupan magnetikmu untuk menyerap sejuta ummat, serta ummat itu sendiri. Ummat adalah fasilitas dari Tuhanmu. Ummat adalah pemantul amanatNya untukmu..."
(Emha Ainun Nadjib "Sudrun Gugat" Jakarta;Grafitti, 1993
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !