Emha Ainun Nadjib
Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan supaya agak sedikit waras.
Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus saja berjalan. Biasa,berjalan biasa.
Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di Arab Saudi.
Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.
Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan. Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah kita. Entah kenapa pakaian kita tidak bela-bela.
Kita sampai membeli mantel segala.
Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kita pun lari berhamburan seolah pasukan Israel datang. Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak membuat kita mati, sakit lepra atau bisul, hujan itu rakhmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan bebeberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan.
Seperti juga tak bisa bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir, mungkin karena manusia tolol mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk menyindir manusia yang pintar berkhianat. Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.
O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP?
Surat-surat ini-itu? Itu bisa dibungkus plaastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa dicuci. Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.
Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti menempuh 'metode' lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.
Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!
Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas kaki, itu tak berbudaya. Kalau diatas celana tak ada kaos, masuk supermarket, itu primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh sekali nilai-nilai kita ini!
Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja, masih dianggap belum terlalu gila.
Hujan al mukarram kekasihku! Kau kurindukan dan diperlukan untuk beberapa kepentingan. Tapi. kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrab denganmu secara pribadi.
Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus saja berjalan. Biasa,berjalan biasa.
Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di Arab Saudi.
Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.
Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan. Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah kita. Entah kenapa pakaian kita tidak bela-bela.
Kita sampai membeli mantel segala.
Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kita pun lari berhamburan seolah pasukan Israel datang. Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak membuat kita mati, sakit lepra atau bisul, hujan itu rakhmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan bebeberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan.
Seperti juga tak bisa bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir, mungkin karena manusia tolol mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk menyindir manusia yang pintar berkhianat. Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.
O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP?
Surat-surat ini-itu? Itu bisa dibungkus plaastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa dicuci. Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.
Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti menempuh 'metode' lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.
Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!
Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas kaki, itu tak berbudaya. Kalau diatas celana tak ada kaos, masuk supermarket, itu primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh sekali nilai-nilai kita ini!
Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja, masih dianggap belum terlalu gila.
Hujan al mukarram kekasihku! Kau kurindukan dan diperlukan untuk beberapa kepentingan. Tapi. kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrab denganmu secara pribadi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !