Emha Ainun Nadjib
TIDAK jelas apa bahasa Indonesianya, tapi biasa disebut *slilit*. Kalau habis ditraktir makan sate , biasanya ada serabut kecil sisa daging nyelip di antara gigi — itulah * slilit*.
Slilit sama sekali tak penting . Tak pernah jadi urusan nasional . Tak berkaitan dengan setiap kampanye pembangunan . Koran tak pernah meng- *cover* -nya . Para ilmuwan atau penyair tak pernah mengingatnya. Bahkan satu- satunya produksi ekonomi yang punya urusan dengannya - pun disebut "tusuk gigi " — bukan "tusuk * slilit*" . Padahal *slilit* -lah yang ditusuk.
Namun , begitulah, *slilit * pernah memusingkan seorang kiai di alam kuburnya, bahkan mengancam kemungkinan suksesnya kiai tersebut masuk ke surga.
Slilit sama sekali tak penting . Tak pernah jadi urusan nasional . Tak berkaitan dengan setiap kampanye pembangunan . Koran tak pernah meng- *cover* -nya . Para ilmuwan atau penyair tak pernah mengingatnya. Bahkan satu- satunya produksi ekonomi yang punya urusan dengannya - pun disebut "tusuk gigi " — bukan "tusuk * slilit*" . Padahal *slilit* -lah yang ditusuk.
Namun , begitulah, *slilit * pernah memusingkan seorang kiai di alam kuburnya, bahkan mengancam kemungkinan suksesnya kiai tersebut masuk ke surga.
Ceritanya , dia mendadak dipanggil Tuhan (wafat) sebelum para santrinya siap untuk ditinggalkan selamanya oleh kiai itu. Murid -murid setia itu, sesudah menguburkan sang kiai , lantas *nglembur * mengaji berhari -hari — agar diperkenankan ketemu roh beliau barang satu dua jenak . Dan Allah Yang Maha Memungkinkan Segala Kejadian akhirnya menunjukkan tanda kebenaran -Nya dalam mimpi seorang santrinya itu . Roh kiai menemui mereka . Terjadilah wawancara singkat , perihal nasib Sang Kiai di "sana".
"Baik- baik, Nak. Dosa -dosaku umumnya diampuni. Amalku diterima . Cuma ada satu hal yang membuatku masygul . Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri di rumah Pak Kusen? Sehabis makan bareng , hadirin berebut menyalamiku, hingga tak sempat aku mengurus * slilit * di gigiku . Ketika pulang , di tengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa * enggak *bawa tusuk * slilit *maka aku mengambil potongan kayu kecil dari pagar orang . Kini, alangkah sedihnya : aku tak sempat minta maaf pada yang empunya perihal tindakan mencuri itu . Apakah Allah bakal mengampuniku?"
Para santri yang dikabari perihal mimpi itupun turut berduka. Kemudian membayangkan , alangkah lebih malangnya nasib Sang Kiai bila *slilit *di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu, sebesar gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan. Lebih -lebih lagi kalau menyamai Hotel Asoka atau candi Borobudur , setidaknya satelit Palapa .
Ada satu intensitas rohani tertentu dari hidup manusia. Yakni tempat Tuhan begitu mutlak . Tempat pahala begitu sakral , dan dosa begitu menakutkan lebih dari Banaspati . Intensitas itu tentunya bergantung pada bagaimana seseorang mengolah dirinya dalam hidup. Meski demikian , hal itu sebenarnya naluriah saja . Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun , orang yang menebang pohon angker dan jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa kepada yang punya dan menjaga pohon itu . Ada juga yang merasionalisasi: karena tindakan penebangan itu merusak sistem ekologis .
Seorang Indian Wintu di California berkata pilu , "Orang- orang kulit putih ini tak pernah mencintai tanah , rusa , atau beruang . Jika kami makan daging , kami tak menyisakannya. Jika kami memerlukan akar , kami bikin lubang , bukan mencerabutnya . Kami tak menumbangkan pohon. Kami hanya memakai kayu yang sudah mati . Tapi orang kulit putih membajak tanah, merobohkan pohon, membunuh segala yang dikehendaki. Pohon-pohon menangis : ' Jangan ! Aku luka dan sakit!' — tapi mereka mencabutnya, memotong-motongnya . Roh tanah benci mereka ! Mereka meledakkan batu - batu , gunung -gunung kecil , menghamparkannya di tanah hingga saling tak bisa bernapas . Batu-batu mengaduh : ' Jangan! Aku pecah dan sedih !' — tapi mereka tak ambil peduli . Bagaimana roh batu menyayangi mereka ? Apa saja yang tersentuh tangan mereka , rusaklah segala sesuatu itu . . .. !"
Naluri jernih suku Wintu bagai menyindir sejarah , sesudah kepunahan bangsa kulit merah . Manusia dengan kecerdasannya berhasil menaklukkan alam, menggenggamnya, mengeksplorasinya, mengeksploitasinya , menyulapnya menjadi surga impian , memakannya, menghabiskannya , menguras dan mengenyamnya , demi kelayakan -kelayakan yang irrasional dan mubazir , bagai direncanakan untuk menyegerakan berbagai kehancuran yang ditutup- tutupi.
Jika naluri suku Wintu bisa disebut identik dengan kesadaran dosa, pada zaman serba penaklukan ini rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya serba berkaitan , semrawut dan membenang kusut , menjadi tak begitu penting , juga di negeri yang bangsanya tampak begitu religius . Kata "Tuhan" disebut ratusan kali setiap hari. Tapi konsep dosa tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebijaksanaan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat.
Dan di bagian pinggiran itulah hidup Pak Kiai, yang sangat masygul akibat dosa *slilit * -nya .
"Baik- baik, Nak. Dosa -dosaku umumnya diampuni. Amalku diterima . Cuma ada satu hal yang membuatku masygul . Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri di rumah Pak Kusen? Sehabis makan bareng , hadirin berebut menyalamiku, hingga tak sempat aku mengurus * slilit * di gigiku . Ketika pulang , di tengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa * enggak *bawa tusuk * slilit *maka aku mengambil potongan kayu kecil dari pagar orang . Kini, alangkah sedihnya : aku tak sempat minta maaf pada yang empunya perihal tindakan mencuri itu . Apakah Allah bakal mengampuniku?"
Para santri yang dikabari perihal mimpi itupun turut berduka. Kemudian membayangkan , alangkah lebih malangnya nasib Sang Kiai bila *slilit *di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu, sebesar gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan. Lebih -lebih lagi kalau menyamai Hotel Asoka atau candi Borobudur , setidaknya satelit Palapa .
Ada satu intensitas rohani tertentu dari hidup manusia. Yakni tempat Tuhan begitu mutlak . Tempat pahala begitu sakral , dan dosa begitu menakutkan lebih dari Banaspati . Intensitas itu tentunya bergantung pada bagaimana seseorang mengolah dirinya dalam hidup. Meski demikian , hal itu sebenarnya naluriah saja . Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun , orang yang menebang pohon angker dan jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa kepada yang punya dan menjaga pohon itu . Ada juga yang merasionalisasi: karena tindakan penebangan itu merusak sistem ekologis .
Seorang Indian Wintu di California berkata pilu , "Orang- orang kulit putih ini tak pernah mencintai tanah , rusa , atau beruang . Jika kami makan daging , kami tak menyisakannya. Jika kami memerlukan akar , kami bikin lubang , bukan mencerabutnya . Kami tak menumbangkan pohon. Kami hanya memakai kayu yang sudah mati . Tapi orang kulit putih membajak tanah, merobohkan pohon, membunuh segala yang dikehendaki. Pohon-pohon menangis : ' Jangan ! Aku luka dan sakit!' — tapi mereka mencabutnya, memotong-motongnya . Roh tanah benci mereka ! Mereka meledakkan batu - batu , gunung -gunung kecil , menghamparkannya di tanah hingga saling tak bisa bernapas . Batu-batu mengaduh : ' Jangan! Aku pecah dan sedih !' — tapi mereka tak ambil peduli . Bagaimana roh batu menyayangi mereka ? Apa saja yang tersentuh tangan mereka , rusaklah segala sesuatu itu . . .. !"
Naluri jernih suku Wintu bagai menyindir sejarah , sesudah kepunahan bangsa kulit merah . Manusia dengan kecerdasannya berhasil menaklukkan alam, menggenggamnya, mengeksplorasinya, mengeksploitasinya , menyulapnya menjadi surga impian , memakannya, menghabiskannya , menguras dan mengenyamnya , demi kelayakan -kelayakan yang irrasional dan mubazir , bagai direncanakan untuk menyegerakan berbagai kehancuran yang ditutup- tutupi.
Jika naluri suku Wintu bisa disebut identik dengan kesadaran dosa, pada zaman serba penaklukan ini rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya serba berkaitan , semrawut dan membenang kusut , menjadi tak begitu penting , juga di negeri yang bangsanya tampak begitu religius . Kata "Tuhan" disebut ratusan kali setiap hari. Tapi konsep dosa tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebijaksanaan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat.
Dan di bagian pinggiran itulah hidup Pak Kiai, yang sangat masygul akibat dosa *slilit * -nya .
Emha Ainun Nadjib
10 September 1983
10 September 1983
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !