Mohammad Sobary
Pernah saya tinggal di Perumnas Klender. Rumah itu dekat mesjid yang sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya tak selalu bisa ikut. Saya sibuk ngaji yang lain.
Lingkungan sesak itu saya amati. Tak cuma di mesjid. Dirumah-rumah pun setiap habis magrib saya temui kelompok orang belajar membaca Al Quran. Anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun diundang.Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara sufisme.Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya berserah pada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas mereka kuat.Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana.
Dua puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan corak hidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa ini? Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk membaca
sajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin tiba-tiba jadi superstar pengajian (ceramahnya melibatkan panitia,stadion, puluhan ribu jemaah dan honor besar), sekali lagi
saya dibuat bertanya: jawaban sosiologis apa yang harus diberikan buat menjelaskan gairah Islam, termasuk dikampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi?
Di Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba menghayati keadaan. Sering ustad menasihati, "Hiasi dengan bacaan Quran, biar rumahmu teduh." Para "Unyil" ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orang seperti kemarok terhadap agama.Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak
tahu. Dia pun menemui pak ustad untuk minta bimbingan,setapak demi setapak. Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena, biarpun sudah tua, ia masih bersemangat belajar. Katanya, "Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu tak diterima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal kita cuma tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita tak sia-sia." Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun dimulai. Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak bakal ia bisa menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, 'ain itu tidak ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, ngain."Ain, Pak Suto," kata Ustad Bentong bin H. Sabit. "Ngain," kata Kang Suto. "Ya kaga bisa nyang begini mah," pikir ustad. Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang runyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru ngaji lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto

..."
Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya,mesjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. Dan kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi ...
---------------
Buku "KANG SEJO MELIHAT TUHAN",Mohammad Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !