muhammad sobary
Aku
berharap Indonesiaku juga Indonesiamu. Memang belum sangat jelas apakah
Indonesiaku sama dengan Indonesia yang diteriakkan penyair Taufiq
Ismail di dalam puisinya "Kembalikan Indonesia Kepadaku". Juga belum
jelas apakah Indonesiaku sama dengan Indonesia yang dimaksud Bung Karno
dalam "Indonesia Menggugat".
Banyak hal, ternyata, yang belum cukup jelas di dalamnya. Indonesiaku hasil sebuah dialog dan negosiasi politik yang lama, melelahkan, dan menyita kesabaran, dan membutuhkan toleransi terhadap semua kemungkinan aspirasi yang bermunculan dari sana sini. Tiap aspirasi harus diakomodasi dengan baik di dalam dan oleh semangat multikulturalisme yang tak henti-hentinya kita bangun.
Indonesiaku bukan hanya milikku, melainkan juga Indonesiamu, milikmu. Indonesiaku pelan-pelan kita dirikan di atas impian-impian dan aspirasi kultural yang sangat beragam, penuh variasi, penuh nuansa, dan membuat kita kaya, bagaikan taman bunga yang semarak dan harum dalam benak dan alam ideal kita.
Indonesiaku, pendeknya bukan sebutir kelereng, yang padat dan jelas sosoknya. Dengan akal pikiran aku bisa membayangkan bagaimana kira-kira rumusan politiknya. Tapi, aku belum bisa merasakannya dengan hati dan jiwaku karena rumusan-rumusan akal boleh jadi hanya bersifat teknis politis, dan itu pun di dalamnya bukan mustahil ada unsur "akal-akalan".
Selebihnya, konsensus politik sering tidak tulus mengabdi kepentingan bersama. Dalam tradisi kenegaraan kita, yang masih muda usianya, politik sering hanya berarti "tipu muslihat" untuk meraih kemenangan jangka pendek, dan tak peduli akan pentingnya membangun keadilan semesta alam bagi segenap warga negara dan manusia-manusia yang hidup di dalamnya.
Kerja politik sering agak sedikit dungu karena merasa sudah puas melihat "hasil" berupa terciptanya sosok besar sebuah "struktur" yang bagus wujudnya, tapi kering dan kosong, tanpa jiwa. Padahal, yang kita rindukan, dan hendak kita wujudkan, ialah "jiwa" ke-Indonesia-an, untuk memberi makna lebih riil pengertian "adil dan beradab" bagi semua kalangan. Juga, dan terutama, bagi mereka yang selama ini tertindas sepatu tentara, polisi, birokrat, pedagang, dan para politisi keparat yang telah menggadaikan jiwa mereka kepada semua setan yang membunuh kemanusiaan.
Indonesiaku hasil sebuah kerja kreatif, hasil imajinasi tentang apa yang luhur dan mulia, dalam ukuranku dan ukuran-ukuranmu semua, yang bukan hanya berbeda, melainkan juga berkebalikan satu sama lain. Tapi, tak berarti aku boleh, dengan barisan massa milikku, mengusirmu pergi dari bumi milik Tuhan ini.
Kau pun tak akan bisa mengusirku dari tiap jengkal tanah di mana aku berpijak, karena di mana pun aku berada, aku tak menjejak di atas tanah warisan Engkong dan Kakek moyangmu, melainkan di atas bumi milik Tuhan kita, yang ramah dan serba akomodatif terhadap semua makhluk-Nya. Adaku di bumi ini merupakan wujud "Titah-Nya", "Kehendak-Nya" dan "Tanggung Jawab-Nya".
Jadi, bagaimana mungkin di antara kita, sama-sama umat beragama, sama-sama makhluk beriman, bahkan satu agama dan satu iman, tapi hendak singkang-menyingkang dan usir-mengusir? Bukankah dialog dan negosiasi kita tentang Indonesiaku, dan Indonesiamu, belum lagi selesai?
Aku tidak tahu adakah generasi demi generasi di atas kita sudah gagal merumuskan ke-Indonesia-an yang teduh, enak, dan membawa rasa nyaman bagi kita semua? Aku hanya tahu mereka sudah berusaha dengan segenap cinta, tanggung jawab dan kesediaan berkorban. Dan, generasi kita, yang mungkin lembek dan kurang wawasan, akan bersedia gagal mewujudkan Indonesiaku, dan Indonesiamu, yang kita inginkan bersama, dan kita lalu memilih baku bunuh seperti binatang di rimba raya?
Indonesiaku memang bukan sorgaloka, dan seharusnya juga bukan rimba raya. Maka, siapa bilang ia tak mungkin diubah menjadi sejenis sorgaloka yang bersedia memberi tempat bagi kita semua untuk bisa merasa aman dan nyaman di dalamnya.
Indonesiaku, sekeping negeri yang diciptakan Tuhan dengan kasih sayang dan tanggung jawab. Dengan kasih sayang dan tanggung jawab-Nya, diciptakan kita dalam corak yang berbeda warna kulit, etnisitas, tradisi, dan bahasanya, cara pandang dan sikap-sikapnya terhadap hidup. Dan, Tuhan memelihara semua jenis perbedaan itu.
Lalu apa hak kita, yang bukan nabi, bukan wali, dan bukan orang suci, untuk bersikap seolah kita nabi dan orang suci, atau wali, hingga di mata kita perbedaan menjadi musuh dan barang terkutuk serta harus dimusnahkan dari muka bumi? Siapa yang memberi kita hak, bersikap seolah kita Tuhan?
Kita tahu urusan "halal-haram" dengan baik, tapi mengapa yang "haram" hanya mereka, sedang bagi kita segala kebejatan yang paling haram kita bungkus dengan jubah putih agar tampak seperti halal? Adakah kau kira Tuhan terpesona melihat kelicikan seperti itu?
Politik memang bisa, dan selalu, menipu. Orang banyak, yang lemah status sosial-politiknya, mudah pula ditipu. Dan, kita puas melakukan penipuan demi penipuan selama Indonesiaku berdiri. Tapi, mengapa Tuhan pun kita tipu?
Di mana nafsu muthmainah, kecenderungan mulia, dan agung dalam hidup kita? Mengapa kebudayaan tak memberinya tempat? Mengapa politik membunuhnya?
Apa yang terbayang dalam benakmu ketika kita bicara Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita mempreteli Ketuhanan, yang universal dan agung, menjadi kecil-kecil sesuai konsep Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Islam dan mengklaim yang lain salah, dan hanya tafsir kita yang benar. Kemudian, yang dianggap salah harus dibikin mati.
Adakah arti Ketuhanan di situ? Jangan nodai Indonesiaku karena ia juga Indonesiamu. Indonesiaku ini, aku tahu, Indonesia kita semua.
Sumber : Kompas, Minggu 14 Mei 2006
Banyak hal, ternyata, yang belum cukup jelas di dalamnya. Indonesiaku hasil sebuah dialog dan negosiasi politik yang lama, melelahkan, dan menyita kesabaran, dan membutuhkan toleransi terhadap semua kemungkinan aspirasi yang bermunculan dari sana sini. Tiap aspirasi harus diakomodasi dengan baik di dalam dan oleh semangat multikulturalisme yang tak henti-hentinya kita bangun.
Indonesiaku bukan hanya milikku, melainkan juga Indonesiamu, milikmu. Indonesiaku pelan-pelan kita dirikan di atas impian-impian dan aspirasi kultural yang sangat beragam, penuh variasi, penuh nuansa, dan membuat kita kaya, bagaikan taman bunga yang semarak dan harum dalam benak dan alam ideal kita.
Indonesiaku, pendeknya bukan sebutir kelereng, yang padat dan jelas sosoknya. Dengan akal pikiran aku bisa membayangkan bagaimana kira-kira rumusan politiknya. Tapi, aku belum bisa merasakannya dengan hati dan jiwaku karena rumusan-rumusan akal boleh jadi hanya bersifat teknis politis, dan itu pun di dalamnya bukan mustahil ada unsur "akal-akalan".
Selebihnya, konsensus politik sering tidak tulus mengabdi kepentingan bersama. Dalam tradisi kenegaraan kita, yang masih muda usianya, politik sering hanya berarti "tipu muslihat" untuk meraih kemenangan jangka pendek, dan tak peduli akan pentingnya membangun keadilan semesta alam bagi segenap warga negara dan manusia-manusia yang hidup di dalamnya.
Kerja politik sering agak sedikit dungu karena merasa sudah puas melihat "hasil" berupa terciptanya sosok besar sebuah "struktur" yang bagus wujudnya, tapi kering dan kosong, tanpa jiwa. Padahal, yang kita rindukan, dan hendak kita wujudkan, ialah "jiwa" ke-Indonesia-an, untuk memberi makna lebih riil pengertian "adil dan beradab" bagi semua kalangan. Juga, dan terutama, bagi mereka yang selama ini tertindas sepatu tentara, polisi, birokrat, pedagang, dan para politisi keparat yang telah menggadaikan jiwa mereka kepada semua setan yang membunuh kemanusiaan.
Indonesiaku hasil sebuah kerja kreatif, hasil imajinasi tentang apa yang luhur dan mulia, dalam ukuranku dan ukuran-ukuranmu semua, yang bukan hanya berbeda, melainkan juga berkebalikan satu sama lain. Tapi, tak berarti aku boleh, dengan barisan massa milikku, mengusirmu pergi dari bumi milik Tuhan ini.
Kau pun tak akan bisa mengusirku dari tiap jengkal tanah di mana aku berpijak, karena di mana pun aku berada, aku tak menjejak di atas tanah warisan Engkong dan Kakek moyangmu, melainkan di atas bumi milik Tuhan kita, yang ramah dan serba akomodatif terhadap semua makhluk-Nya. Adaku di bumi ini merupakan wujud "Titah-Nya", "Kehendak-Nya" dan "Tanggung Jawab-Nya".
Jadi, bagaimana mungkin di antara kita, sama-sama umat beragama, sama-sama makhluk beriman, bahkan satu agama dan satu iman, tapi hendak singkang-menyingkang dan usir-mengusir? Bukankah dialog dan negosiasi kita tentang Indonesiaku, dan Indonesiamu, belum lagi selesai?
Aku tidak tahu adakah generasi demi generasi di atas kita sudah gagal merumuskan ke-Indonesia-an yang teduh, enak, dan membawa rasa nyaman bagi kita semua? Aku hanya tahu mereka sudah berusaha dengan segenap cinta, tanggung jawab dan kesediaan berkorban. Dan, generasi kita, yang mungkin lembek dan kurang wawasan, akan bersedia gagal mewujudkan Indonesiaku, dan Indonesiamu, yang kita inginkan bersama, dan kita lalu memilih baku bunuh seperti binatang di rimba raya?
Indonesiaku memang bukan sorgaloka, dan seharusnya juga bukan rimba raya. Maka, siapa bilang ia tak mungkin diubah menjadi sejenis sorgaloka yang bersedia memberi tempat bagi kita semua untuk bisa merasa aman dan nyaman di dalamnya.
Indonesiaku, sekeping negeri yang diciptakan Tuhan dengan kasih sayang dan tanggung jawab. Dengan kasih sayang dan tanggung jawab-Nya, diciptakan kita dalam corak yang berbeda warna kulit, etnisitas, tradisi, dan bahasanya, cara pandang dan sikap-sikapnya terhadap hidup. Dan, Tuhan memelihara semua jenis perbedaan itu.
Lalu apa hak kita, yang bukan nabi, bukan wali, dan bukan orang suci, untuk bersikap seolah kita nabi dan orang suci, atau wali, hingga di mata kita perbedaan menjadi musuh dan barang terkutuk serta harus dimusnahkan dari muka bumi? Siapa yang memberi kita hak, bersikap seolah kita Tuhan?
Kita tahu urusan "halal-haram" dengan baik, tapi mengapa yang "haram" hanya mereka, sedang bagi kita segala kebejatan yang paling haram kita bungkus dengan jubah putih agar tampak seperti halal? Adakah kau kira Tuhan terpesona melihat kelicikan seperti itu?
Politik memang bisa, dan selalu, menipu. Orang banyak, yang lemah status sosial-politiknya, mudah pula ditipu. Dan, kita puas melakukan penipuan demi penipuan selama Indonesiaku berdiri. Tapi, mengapa Tuhan pun kita tipu?
Di mana nafsu muthmainah, kecenderungan mulia, dan agung dalam hidup kita? Mengapa kebudayaan tak memberinya tempat? Mengapa politik membunuhnya?
Apa yang terbayang dalam benakmu ketika kita bicara Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita mempreteli Ketuhanan, yang universal dan agung, menjadi kecil-kecil sesuai konsep Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Islam dan mengklaim yang lain salah, dan hanya tafsir kita yang benar. Kemudian, yang dianggap salah harus dibikin mati.
Adakah arti Ketuhanan di situ? Jangan nodai Indonesiaku karena ia juga Indonesiamu. Indonesiaku ini, aku tahu, Indonesia kita semua.
Sumber : Kompas, Minggu 14 Mei 2006
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !