Kita bisa lega bahwa kita punya nyanyian yang mengatakan Indonesia
kaya dan makmur. Bagi orang kampung saya, makna "kaya" dan "makmur"
lagu itu bersifat ideologis. Mungkin malah berupa mitos. Ia tak
bersentuhan dengan realitas, karena bagaimana bisa disebut makmur bila
gaplek saja mahal harganya ?
Siapa bilang Bapak dari Blitar ?
Bapak kita dari JawaTimur
Siapabilang rakyat kitalapar
lndonesia kaya dan makmur
Bila orang, menyanyikan sendirian lagu ini, serempak, secara beramai-ramai, orang lain kemudian "nyenggaki"--menyela--dengan bait lanjutannya.
"Marilah
kita bergembira, bergembira semua..." dan seterusnya, buat
menggambarkan bahwa kita sebagai bangsa tak sedang bersedih. Sebaliknya,
kita tampak gembira, optimis, dan hidup semarak. Kita bisa membabat
semua jenis halangan yang menghambat jalannya revolusi saat itu.
Kenangan
masa kecil mengingatkan, lagu ini populer di kampung saya di musim
kemarau panjang. Waktu itu kira-kira sekitar tahun enam tiga, mungkin
awal enam lima. Pokoknya sebelum tragedi nasional G30S PKI itu.
Di
musim kemarau panjang itu panen kacang tanah terjadi. Dan di sawah,
ketika panenan itu, berita-berita politik beredar di antara orang
kampung. Kata seseorang, dan ia cuma mendengar dari orang lain, dan
orang lain itu pun mendengar dari orang lain lagi, bahwa kami, orang
kampung, memang sengaja dibikin lapar.
Gaplek,
bahan pangan utama yang menjadi thiwul itu, kabarnya diangkut dengan
kapal laut. Dalam jumlah berton-ton banyaknya, tiap saat, bahan pangan
itu ditenggelamkan begitu saja. Katanya, ini sabotase.
Rakyat
lapar itu hanya merupakan tujuan antara. Tujuan akhirnya agar negara
menjadi lemah. Dan setelah negara lemah, kaum nekolim---neo
kolonis---dengan mudah datang kembali menjajah kita.
"Maka, wahai rakyat Indonesia,
waspadalah,"begitu pesan politik Bung Karno, PBR kita, waktu itu. Itu
pun cuma katanya. Kita terus menerus diminta waspada. Dan seingat saya,
waspada itu malah membikin kami, orang kampung, takut.
Atau
cemas. Lebih-lebih karena persoalan tak begitu jelas: musuh kita itu
apa, atau siapa? Kaum nekolim itukah, atau perut kita sendiri yang
lapar, karena gaplek--sekali lagi katanya--ditenggelamkan ke laut?
Saya
kira musuh kita waktu itu dua-duanya: ya kaum nekolim, ya perut lapar.
Kaum nekolim itu maksudnya Ingggris dan Amerika. Dan ketika konfrontasi
dengan Malaysia
berlangsung, Bung Karno mengumandangkan semangat perang: Amerika kita
setrika, Inggris kita linggis. Seolah melawan mereka cuma semudah
memijat buah tomat.
Abdul Rahman Saleh, PM Malaysia pun tak usah ditakuti. Dia itu cuma boneka Inggris. Malaysia pun cuma sebuah negara boneka.
Mungkin benar kita saat itu hidup dalam "The Years of Living Dangerously". Pangan buat rakyat sudah susah. Masih harus menghadapi situasi perang. Banyak anak kampung putus sekolah.
Orang bilang, paceklik itu membuat hama tikus merajalela. Binatang-binatang itu kabarnya prajurit Nyai Roro Kidul. Dan berita ini lebih menakutkan lagi.
Tapi
meskipun lapar itu urusan perut, dan keberanian--terhadap kaum
nekolim--urusan perasaan, di desa pun anehnya ada sedikit kelegaan.
Lega, karena kita tak boleh lemah demi menghadapi kaum nekolim tadi. Dan
lega, bahwa kita punya nyanyian yang mengatakan Indonesia kaya dan makmur.
Memang
benar, bagi orang kampung saya makna "kaya" dan "makmur" dan lagu itu
lebih bersifat ideologis. Mungkin malah berupa mitos. Ia tak bersentuhan
dengan realitas, karena bagaimana mau disebut makmur, bila gaplek saja
mahal?
Tragisnya, dengan perut lapar kita menyanyi: siapa bilang kita lapar?
Kita melakukan sejenis "self denial" secara beramai-ramai. Kita terbius slogan politik.
***
IRIAN Jaya punya hutan-hutan lebat, dan hutan-hutan itu kaya umbia-umbian. Juga sagu.
Tapi mengapa rakyat di sana
tertimpa bencana kelaparan? Tak ada lagikah kearifan tradisional buat
mengelola hidup, dan menjaga hubungan baik dengan hutan, yang sudah
mereka miliki sejak beribu-ribu tahun?
Hutan
yang sudah merupakan sahabat, mengapa tiba-tiba melakukan penghianatan,
dan tak memenuhi janjinya memberi makan segenap warga yang hidup di
sekitarnya? Apakah mereka sudah bosan dieksploitir terus-menerus? Apakah
hutan melakukan protes sendiri secara langsung terhadap orang-orang
yang membiarkan terjadinya kebakaran di tempat-tempat lain?
Kita tidak tahu persis apa yang sedang terjadi di sana. Tapi kita tahu, di sana ada rakyat kelaparan. Kita dibuat repot. Nilai rupiah sedang anjlok tajam sampai ke titik rendah, malah ada yang kelaparan.
Kelaparan
bukan perkara yang dibuat-buat. Keadaan itu bersifat darurat, dan tak
bisa menunggu. Bantuan harus segera dikirim. Kalau tidak, kita digugat
oleh rasa keadilan kita sendiri.
Tapi mengapa di dalam kota,
ada orang-orang yang berpesta pora dengan dana Jamsostek? Mengapa dana
miliaran dari rakyat lenyap secara misterius, padahal ada sebagian
rakyat bergulat melawan maut karena kelaparan? Haruskah ini disebut juga
malapetaka?
Dan
mengapa pula, dalam situasi resah begini, ibu-ibu pejabat malah pamer
kemewahan liburan ke luar negeri sambil berbelanja dan berobat? Mengapa
mereka tak peduli persoalan sensitif tengah melilit hidup kita? Di mana
letak Dharma mereka?
Rasa
keadilan kita memang dilukai. Tapi segala puji bagi Allah. Kita masih
merasa gembira, karena sedikitnya sekarang tak beredar isu bahwa gaplek
kita diangkut dan ditenggelamkan ke laut.
Syukurlah
kita masih bisa mencoba mengulurkan tangan kepada saudara-saudara kita
yang kelaparan di Irian jaya dengan bahan pangan itu. Bila biasanya
mereka makan sagu, atau umbi-umbian, kita kirim mereka gaplek agar kini
ganti makan thiwul. Semoga program thiwulisasi menyelamatkan mereka.
Tapi omong-omong, perkara "food habit" ini bukan barang mudah diubah. "Food habit" merupakan tradisi yang lama melembaga, berurat dan berakar dalam individu dan masyarakat.
Di
luar negeri kita repot belajar makan roti. Dan jangan-jangan,
orang-orang yang biasanya makan sagu dan umbi-umbian, tak mudah pula
makan thiwul?
Kalau itu benar, bagaimana program thiwulisasi?
Sumber : Tempo 13 Desember 1997
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !