Oleh; Mbah Sujiwo Tejo
Rabu, 28 November 2007
Sampai detik ini saya belum bisa bergeser dari keyakinan bahwa pemegang kendali kehidupan dunia adalah perempuan. Makanya saya mohon maaf kalau terlalu cerewet pada perempuan. Hampir semua perkara di Indonesia ini tidak saya minta penyelesaiannya, misal kepada Pak Presiden atau siapa gitu. Reaksi pertama saya menghadapi apapun, ya tetap saja selalu berwujud ingatan kepada perempuan dan bagaimana minta tolong soal itu. Termasuk ketika baru saja Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup di Asia, meski kini sudah nomor dua setelah Filipina.
Langsung kebayang. Tahun depan tidak mustahil kita bakal turun ke peringkat 100 negara terkorup dunia, andai kaum perempuan setanah-air mendukung gerakan itu.
Gini lho. Jika kebetulan perempuan itu seorang ibu, dia tidak akan melatih anaknya korupsi kecil-kecilan. Sebagai ibu, artis Rebecca Tumewu bilang, “Saya akan menanamkan pedoman hidup yang intinya kejujuran kepada anak-anak sejak mereka kecil. Misalnya anak saya, beli es krim 2000, tapi aku kasihnya 5000. Kan ada kembalinya? Dia harus balikin dulu. Kalau dia memang butuh 3000-nya, harus bilang. Ma, 3000-nya buat aku aja ya.” Indra Herlambang juga mengatakan hal yang sama ikhwal pendidikan keluarganya dahulu. Kalau beli buku, ya beli buku, tidak beli hal lain diem-diem dari menyunat dana buku.
Juga, jika perempuan itu seorang ibu, dia tidak akan salah mendongeng soal kancil yang licik dan suka mencuri atau yang sejenis itu. Mungkin dongengnya tetap saja soal hewan mirip kijang itu. Senantiasa dilukiskan lolos dari kepungan pak tani. Tetapi dongeng yang tetap itu diberi spirit lain meski tetap dalam bahasa dan simbol-simbol anak.
Spiritnya mungkin bukan “liciklah atau licinlah bagai belut, maka kamu akan selamat mengarungi hidup.” Spiritnya jadi “dengan licik dan licin kita bisa hidup, tetapi pada akhirnya siapa yang salah akan ketahuan.”
Tak ada salahnya mengubah tradisi dongeng, karena tidak semua tradisi kita baik dan bisa dipertahankan. Kalau kita mempertahankan tradisi, kaum perempuan di Jakarta tak ada yang pakai bra. Karena kutang atau BH itu berasal dari Barat. Hari ini kalau kita ke sebuah dusun di Salatiga, untuk salah satu contoh saja, Anda akan melihat kaum perempuan di atas pematang tanpa tutup dada. Dengan dada mandul-mandul mereka melenggang dari rumah ke pancuran buat mandi dan cuci baju. Kalau perempuan bisa berubah dari buka dada ke nutup dada, kenapa pula dongeng-dongeng tradisi tak bisa kita ubah. Minimal spiritnya yang kita ubah.
***
Jika kebetulan perempuan itu sebagai istri, ya sudah pasti tidak harus mencuci kaki suaminya lalu mengajaknya bobo dan mendongenginya. Para suami sudah terlanjur dibesarkan oleh dongeng-dongeng ibunya dahulu. Mungkin pula dongeng tentang kancil yang tak cuma tersebar di Nusantara, tetapi juga di Asia Tenggara. Dan mungkin pula itu adalah dongeng kancil yang disampaikan secara keliru.
Istri dalam posisi yang susah buat mendongengi suami. Yang mungkin bisa mereka lakukan hanya tidak mendorong suaminya menempuh jalan kancil di lapangan pekerjaannya. Saya percaya ibu-ibu bisa melakukan itu. Yakin. Saya percaya bahwa ibu-ibu bisa tidak masuk dalam arena persaingan antar-perempuan, misalnya soal dandan dan penampilan, yang ujung-ujungnya mendorong suami membabi-buta memburu uang.
Ya. Saya percaya. Tapi tak bilang bahwa persaingan itu gampang dihindari oleh perempuan. Karena hal lain yang jadi keyakinan saya sampai sekarang dan tak kunjung berubah, dunia ini digerakkan justru oleh persaingan antar-perempuan. Termasuk persaingan dalam penampilan tubuh. Perempuan yang bersaing dengan perempuan akan membuat para suaminya terlibat. Ya hayo, jor-joran belanja penampilan buat istri.
Dalam jenis lain persaingan yang lebih meningkat, bisa saja keterlibatan para suami itu berupa kecemburuan. Yang dibikin cemburu bisa saja mengobarkan perang kalau kebetulan dia tokoh negara. Maka industri perang termasuk pabrik-pabrik senjata bangkit. Jutaan karyawan hidup.
Contoh lain. Pacar yang hampir dinikahinya direbut perempuan lain. Perempuan korban ini sakit hati. Dia juga kawin pada akhirnya. Dia picu suaminya kini untuk berprestasi agar perempuan yang dulu merebut calon suaminya tahu rasa. Jika lelaki yang dipicu itu seorang ilmuwan, tak mustahil dia kelak adalah kandidat peraih Nobel. Jika politisi, tak mustahil dia nanti menjadi presiden. Begitu kuat dan dahsyatnya dorongan yang timbul dari persaingan antar-perempuan.
Ya, tidak gampang menghapus persaingan antar-perempuan. Karena berbagai abad mengajarkan bahwa persaingan itu tetap ada. Tapi izinkan saya merasa yakin bahwa kaum istri bisa mendorong suaminya untuk tidak mengancili kehidupan. Persaingan antar-perempuan oke tetap ada. Tapi bukankah itu bisa berubah menjadi persaingan cantik-cantikan alami? Baju dan perhiasan di luar tubuh sesuai kemampuan alias sederhana, tetapi wajah bercahaya oleh api gairah dari sanubari? Persaingan sederhana-sederhanaan tetapi hepi? Karena bukankah banyak perempuan berdandan yang wajahnya stres?
(Dimuat di harian Sindo, Tanggal 30 Maret 2007)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !