Oleh
Abdurrahman Wahid
Tertawa senantiasa dilakukannya sepenuh hati. Raut mukanya seperti menyimpan
tawa dalam kadar sangat besar. Sedikit alasan saja sudah cukup membuatnya
tergelak-gelak. Sering kali orang sekitarnya terbawa kepada suasana penuh tawa
seperti itu. Hanya kesopanan bersikap di depan seorang kiai sajalah yang
menahan mereka dari turut tertawa tergelak-gelak.
Seperti kecenderungannya yang begitu besar untuk tertawa sepenuh hati itu, Kiai
Ali Krapyak memiliki pandangan serba optimistis tentang kehidupan dan tentang
tempatnya sendiri dalam kehidupan itu.
Begitu optimistis ia memandang peranannya dalam kehidupan, sehingga ia sering
bagaikan bertindak semau-maunya. Menasehati menteri, menyindir orang lain dan
membuat lelucon bahkan hingga tentang soal-soal keagamaan yang terdalam
sekalipun (seperti kepercayaan kepada para wali).
la sendiri yang menetapkan hak berbuat demikian, dan ia tidak bertanya kepada
orang lain tentang tepat atau tidaknya tindakan seperti itu. Pokoknya ia yakin
tentang penting atau benarnya suatu hal, langsung dilakukannya.
Walaupun bergaul dekat dengan banyak pejabat pemerintahan dari tingkat teras di
pusat dan daerah, sering kali ia mengambil sikap melawan dan menyanggah. Kasus
RUU Perkawinan dalam tahun 1973-74. Kasus tanda gambar Ka'bah menjelang Pemilu
1977. Kasus aliran kepercayaan dalam SU- MPR yang lalu. Kasus liburan puasa.
Mengapakah Kiai yang begitu luas dan bersifat akomodatif dalam pergaulan dapat
mengambil sikap 'keras' dalam kasus-kasus di atas? Bukankah itu berarti adanya
inkonsistensi antara pola umum hidupnya yang serba akomodatif dan kekerasan
kepala dalam beberapa hal?
Jawabannya terletak pada kemampuan Kiai Ali untuk menentukan pilihan antara
hal-hal esensial agama dari hal-hal yang dianggapnya bukan persoalan utama.
Kemampuan untuk melakukan penyesuaian dengan tuntutan zaman, tanpa kehilangan
identitas semula yang bersumber pada nilai-nilai keagamaan yang paling dalam.
Ini terbukti dari keseluruhan pola kehidupan kiai yang baik ini. Sebagai kiai
yang mendalam pengetahuan agamanya, sebenarnya ia cukup mengikuti sistem
pendidikan tradisional yang sudah berjalan begitu lama, untuk memperoleh tempat
terhormat dalam barisan ulama 'tangguh'. ltu tak dilakukannya. Sebaliknya, ia
membuka sekolah agama yang 'aneh': di samping kitab-kitab kuno agama, para
santrinya dirangsang untuk membaca literatur baru dari Timur Tengah. Di samping
mempelajari gramatika Arab kuno, para santri itu dirangsang untuk mempelajari
literatur bahasa kontemporer.
Di samping mendalami hukum agama dari buku-buku fiqh kuno, mereka didorong
untuk mendalami juga literatur studi perbandingan dengan hukum-hukum lain yang
dianut di Barat dan Timur. "Mengapa Kiai menyuruh mereka membaca
buku-bukunya Abduh, apakah tidak khawatir para santri 'lepas' dari NU?
"Kiai Ali menjawab dengan tertawanya yang khas: "Kalau membaca buku
yang macam-macam nanti akan menjadi NU yang matang". "Mengapa Kiai
begitu gandrung mengajar di IAIN, mengapa justru tidak membuka sendiri
pengajian agama lanjutan khusus untuk kitab-kitab mazbab Syafi'i? "
Sambil tertawa lagi, Kiai Ali menjawab: "Di IAIN mereka akan memperoleh
tambahan pengetahuan di samping kitab-kitab mazhab tersebut".
Di sini kita bertemu dengan pribadi yang mencari pemecahan pragmatis bagi
masalah-masalah keagamaan yang rumit. Pragmatisme yang dihasilkan lalu memiliki
perpaduan antara sikap rasionalistis dan keyakinan yang teguh akan kebenaran
ajaran agama. Apa yang harus dipelihara sekuat tenaga dari warisan masa lampau,
dan apa yang harus diambil dari kehidupan kontemporer bagi kepentingan
penyesuaian dengan kebutuhan.
Dalam kerangka seperti inilah dapat dipahami 'penafsiran' Kiai Ali ini atas
sebuah pendapat Imam Ghazali dalam karya utamanya lhya'. Imam Ghazali
berpendapat, para remaja yang sedang menuntut ilmu harus tirakat. Antara lain
dengan jalan memakan hanya daun-daunan dan sedikit buah-buahan, dan menjauhi
'makanan keras' (solid food) seperti nasi jagung dan sebagainya apalagi daging,
ikan dan ayam. Hanya mencernakan makanan 'serba prihatin' seperti itu sangat
baik dan bermanfaat untuk mencapai kedalaman ilmu agama. Pendapat seperti ini
sudah tentu berlawanan dengan sebutan gizi para remaja yang sedang membutuhkan
semua jenis makanan yang akan mengembangkan bentuk fisik tubuh mereka. Ketika
ditanya pendapatnya tentang seruan Imam Ghazali untuk melakukan tirakat ngrowot
seperti di atas, jawab Kiai Ali adalah 'baik, tetapi belum tentu bermanfaat'.
Kemampuan memberikan klasifikasi berdasarkan kategorisasi yang kompleks adalah
kunci dari kemampuan adaptasi yang dilakukan Kiai Ali Krapyak ini. Mengaku
kebaikan pendapat yang dirumuskan di masa lalu, sambil mencari manfaat yang
baru, adalah salah satu bentuk adaptasi ini.
Tanpa tercabut dari akar masa lalunya, adaptasi Kiai Ali cukup dinamis, bukan?
Penulis adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !