Oleh Abdurrahman Wahid
Banyak kiai memiliki sifat aneh, tetapi yang paling sering didapati adalah
sikap egosentris mereka. Mungkin ini adalah kompensasi kejiwaan untuk
mengimbangi keharusan berpola hidup serba konformistis dengan sesama kiai. Juga
untuk mengimbangi 'larutnya kepribadian' dalam tugas pelayanan mereka yang
begitu total kepada kehidupan masyarakat.
Taruhlah ini semacam 'kemewahan' sikap dalam deretan mendatarnya pola hidup
mereka sendiri: mengajar,beribadat ritual,konsultasi kepada masyarakat,
memimpin beberapa jenis upacara keagamaan yang berdimensi sosial (kelahiran,
khitanan,perkawinan dan kematian) dan sebagainya.
Justru dalam forum musyawarah hukum agama antara sesama kiai terletak 'katup
pelepas' untuk menunjukkan arti diri mereka dalam rutinitas lalu muncul dalam
bentuknya yang paling sedikit berakibat negatif. Memang cukup banyak yang
memperagakan eksentrisitas watak hanya untuk sekadar tampak aneh saja, sering
dirupakan secara kongkrit dalam bentuk pembicaraan berkepanjangan tentang
definisi suatu hal tanpa mampu mencari kerangka sosial yang lebih sesuai dengan
kebutuhan hidup masa kini. Seolah-olah dominasi pemikiran skolastik menutupi
munculnya kesadaran sosial yang sedang mencari jalannya sendiri memasuki
lingkup pemikiran keagamaan.
Di luar forum musyawarah hukum agama, sedikit sekali tampak perbedaan pendirian
dan pendekatan antara semua kiai itu, karena fungsi ritual mereka lakukan
kurang lebih dalam pola yang hampir bersamaan. Hanya dalam fungsi mendidik
masyarakat melalui dakwah oral, para kiai telah mulai menunjukkan perbedaan
cara berpikir. Ada yang menekankan pesan-pesan mereka pada penguatan
nilai-nilai moral melalui penolakan atas segala yang bercap modern, tetapi
cukup banyak pula yang memusatkan perhatian pada masalah-masalah dasar dalam
kehidupan masyarakat, seperti penumbuhan toleransi dan pengembangan sikap
perhitungan (rechenhaftigkeit, kalau meminjam istilahnya Jan Romein)
Dalam musyawarah hukum agama yang berlangsung ribuan kali banyaknya di seluruh
penjuru tanah air setiap tahunnya, berlangsung perdebatan sengit antara mereka
yang hanya berkepentingan untuk membatasi diri pada rumusan-rumusan harfiah
yang sesuai dengan landasan berpikir skolastik, dan mereka yang mencoba mencari
relenvansi skolastisisme itu sendiri dalam perkembangan sosial berlangsung
cepat. Perdebatan antara mereka yang setuju KB sebagai gagasan dan yang tidak
setuju, yang dapat menerima pemindahan kuburan untuk membuat jalan dan yang
tidak dapat menerimanya dan seribu kasus lainnya.
Variasi sangat besar tampak dalam argumentasi yang digunakan dalam forum-forum
tersebut, untuk menunjang pendapat yang saling berbeda itu. Kaidah yang
dipergunakan aplikasi kaidah yang digunakan atas persoalan yang menjadi pokok
pembahasan. Tidak kurang juga argumentasi murahan dipergunakan, seperti ucapan
almarhum Kiai Wahab Chasbullah kepada almarhum Kiai Abdul Jalil Kudus ketika
membahas validitas DPR-GR dari sudut hukum agama dua puluhan tahun yang lampau:
"Kitab yang sampeyan gunakan 'kan cuma cetakan Kudus, kalau kitab yang
menunjang pendapat saya ini cetakan luar negeri!" Ada sesuatu yang lebih
berharga yang sebenarnya tersimpan dalam mengemukakan argumentasi langsung
seperti itu. Keinginan untuk memasukkan unsur-unsur kehidupan aktual ke dalam
proses perumusan pendapat agama atas sesuatu persoalan. Keinginan agar ada
perubahan kriteria, betapa halus dan kecilnya sekalipun, dalam penyusunan
postulat-postulat(faradhiyat) logika agama.
Tidak heranlah jika upaya seperti itu pernah membawa pada suatu kejadian yang
berakibat positif, walaupun menggelikan.
Masalahnya menyangkut diktum mazhab Syafi'i tentang larangan menyelenggarakan
dua rombongan sembahyang Jumat di kampung yang sama. Di kota Jember timbul
persoalan dengan diktum ini, tatkala guru agama sebuah SMP yang berdekatan
dengan Masjid Agung bermaksud menyelenggarakan sembahyang Jumat sebagai
peragaan praktek di sekolah tersebut.
Para kiai pun segera ribut, terlibat dalam
perdebatan antara yang membolehkan dan yang tidak memperkenankan. Perdebatan
segera memasuki definisi kampung, yang dalam bahasa arab kuno disebut balad,dan
aplikasinya bagi masa modern dengan pemisahan wilayah secara administratif.
Kelurahankah, atau pedukuhan?
Dalam suasana demikian Kiai Rahmat mengemukakan pendapat yang 'nyentrik' juga: "Boleh saja dilakukan. Antara SMP dan Masjid Agung 'kan sudah berlainan kampung, tidak sama balad-nya.Bukankah RK-nya berlainan?".
Dalam suasana demikian Kiai Rahmat mengemukakan pendapat yang 'nyentrik' juga: "Boleh saja dilakukan. Antara SMP dan Masjid Agung 'kan sudah berlainan kampung, tidak sama balad-nya.Bukankah RK-nya berlainan?".
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !